Perkembangan sosial dan emosional seorang anak, tak hanya sekadar tentang mengatur emosi yang ada di dalam diri, namun bisa lebih dari itu.
American Academy of Padiatrics menjelaskan bahwa perkembangan sosial emosional anak adalah kemampuan anak dalam mengelola dan mengekspresikan emosi secara lengkap baik emosi positif maupun negatif. Sehingga ini bisa sangat berpengaruh pada perkembangan dan perilaku anak hingga ia dewasa.
Perkembangan sosial emosional ini juga merupakan proses belajar anak dalam menyesuaikan diri untuk memahami keadaan dan perasaan ketika berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya, yang diperoleh dengan cara mendengar, mengamati dan meniru hal-hal yang dilihatnya.
Freepik/rawpixel-com
Dilansir dari Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL), pembelajaran sosial-emosional atau Social-Emotional Learning (SEL) membangun dasar keterampilan agar anak dapat berkembang dalam kehidupan, baik di dalam dan di luar kelas.
Anak-anak dengan keterampilan sosial-emosional yang kuat, memiliki ciri-ciri berikut:
Bergaul lebih baik dengan orang lain
Memiliki kemampuan yang meningkat untuk mengelola stres
Lebih mungkin untuk lulus dari sekolah menengah
Memiliki keterampilan sosial utama yang dicari oleh pemberi kerja
Kecil kemungkinannya anak akan terlibat dalam tindakan kriminal saat remaja atau dewasa nanti
Namun hingga saat ini masih ada kesalahpahaman tentang pembelajaran sosial-emosional yang penting bagi anak.
Berikut ini Popmama.com telah merangkum mitos seputar pembelajaran sosial-emosional anak yang perlu Mama ketahui.
Yuk, simak!
1. Mitos 1: Pembelajaran sosial-emosional hanya mengajarkan anak-anak tentang perasaan
Freepik/Gpointstudio
Fakta: Kecerdasan emosional (kemampuan untuk menjadi cerdas tentang perasaan) hanyalah salah satu dari banyak bagian dari pembelajaran sosial-emosional
Faktanya, pembelajaran sosial-emosional membantu anak-anak mengembangkan berbagai keterampilan, mulai dari mengatasi perasaan hingga pengambilan keputusan. Ada beberapa bidang kompetensi inti yang dapat anak dapatkan dari pembelajaran sosial-emosional, yaitu:
Kesadaran diri: Anak dapat mempelajari emosi, kekuatan, dan tantangan diri sendiri dan bagaimana pengaruhnya terhadap tindakan. Selain itu, anak juga memiliki pola pikir yang berkembang tentang keterampilannya.
Manajemen diri: Pembelajaran sosial-emosional dapat membantu anak mengatur diri sendiri dan menggunakan fungsi eksekutif, seperti perencanaan dan organisasi, kontrol impuls, dan penetapan tujuan.
Kesadaran sosial: Anak mampu memahami perspektif lain, menunjukkan empati, menghargai keragaman, dan memahami norma sosial.
Keterampilan hubungan: Mempelajari bagaimana membangun dan memelihara hubungan, berkomunikasi dengan jelas, bekerja sama, dan menyelesaikan konflik.
Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab: Anak mampu membuat pilihan positif tentang bagaimana berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain. Memikirkan tentang bagaimana tindakannya dapat memengaruhi diri sendiri dan orang lain.
Editors' Pick
2. Mitos 2: Keterampilan sosial-emosional tidak sepenting "keterampilan yang spesifik"
Pexels/Monstera
Fakta: Keterampilan sosial-emosional sering disebut sebagai soft skills atau keterampilan yang bersikap general. Tetapi ini sama pentingnya dengan hard skills.
Soft skills memungkinkan seorang anak untuk bergaul dengan baik, berkomunikasi secara efektif, berempati, dan memecahkan masalah. Keterampilan ini mungkin sulit diukur, tetapi sangat penting.
Sedangkan hard skills adalah keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas. Misalnya, mengetahui fakta perkalian atau bisa membaca adalah keterampilan yang sulit. Keterampilan ini mudah diukur dan didemonstrasikan.
Menurut penelitian yang dilakukan di tahun 2018 dalam jurnal Phi Delta Kappan, menunjukkan bahwa keterampilan sosial-emosional yang kuat dapat meningkatkan prestasi akademik. Misalnya, mampu mengelola emosi sambil mempelajari sesuatu yang baru, dapat membantu siswa mengatasi tantangan.
3. Mitos 3: Anak-anak belajar keterampilan sosial-emosional secara otomatis
Freepik/Pch.vector
Fakta: Orang tidak dilahirkan dengan mengetahui cara mengelola emosi, bergaul dengan orang lain, dan memecahkan masalah. Sehingga keterampilan ini dipelajari dari waktu ke waktu.
Terkadang anak-anak dapat mempelajari keterampilan sosial-emosional dengan bagaimana melihat orangtuanya berinteraksi dengan orang lain. Tetapi paling sering, anak tetap membutuhkan instruksi untuk memahami dan mempraktikkan keterampilan ini.
Misalnya, anak-anak yang berjuang dengan keterampilan fungsi eksekutif, mungkin mengalami kesulitan dalam memerhatikan guru, mengatur emosi, atau tetap diam di kelas.
Sehingga, guru dapat bekerja sama dengan orangtua dengan menjelaskan strategi yang membantu anak mengembangkan keterampilan ini.
4. Mitos 4: Hanya ada satu cara untuk menanamkan pembelajaran sosial-emosional
Freepik/Pch.vector
Fakta: Tidak ada satu cara yang tepat untuk menerapkan pembelajaran sosial-emosional pada anak. Hal ini karena setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, serta orangtua dan keluarga memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda.
Mama dapat menggabungkan berbagai pengajaran yang responsif secara budaya dengan pembelajaran sosial-emosional, tujuannya untuk membantu anak memahami satu sama lain dan untuk menunjukkan kepadanya bahwa ia dihargai.
Misalnya, isyarat nonverbal seperti kontak mata dapat memiliki arti yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Dalam budaya dominan Amerika Serikat, kontak mata sering menunjukkan kepercayaan diri. Tapi di budaya lain, itu bisa menunjukkan rasa tidak hormat.
5. Mitos 5: Pembelajaran sosial-emosional hanya untuk anak-anak dengan masalah perilaku
Pexels/mohamed abdelghaff
Fakta: Pembelajaran sosial-emosional adalah untuk semua anak dan orang dewasa juga. Kita semua terus mengembangkan keterampilan ini sepanjang hidup kita.
Keterampilan sosial-emosional bukan hanya tentang bagaimana seseorang mengekspresikan diri pada lingkungan sosial . Namun juga bagaimana tentang bereaksi di dalam diri.
Di sekolah, anak mama mungkin menunjukkan rasa frustrasi atas tugas matematika dengan berteriak atau meremas kertas. Sehingga ia membutuhkan bantuan dengan pengaturan diri.
Atau anak mama mungkin diam-diam mengerjakan soal matematika yang menantang, tetapi merasa gagal di dalam. Ia juga membutuhkan bantuan dengan keterampilan sosial-emosional.
Itulah beberapa mitos seputar pembelajaran sosial-emosional anak. Pembelajaran sosial-emosional ini dapat membantu orangtua memahami bahwa semua perilaku anak dapat mengkomunikasikan sesuatu.
Kemudian Mama dapat berbicara dengan anak tentang apa yang ada di balik perilakunya, lalu mencari tahu apa yang akan membantu.
Setiap anak perlu tahu bagaimana mengenali tantangan, meminta bantuan, dan memikirkan bagaimana perasaannya. Sehingga, penting untuk mengajarkan keterampilan sosial-emosional, agar anak-anak dapat berkembang di sekolah, di rumah, dan di masyarakat.