9 Perilaku Toxic Parenting yang Mengancam Masa Depan Anak
Perilaku toxic yang dilakukan orangtua, bisa diwariskan pada anak ke generasi keluarga selanjutnya
19 Juni 2022
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Setiap orangtua tentu memiliki caranya masing-masing dalam mendidik anak. Namun beberapa orangtua seringkali tak menyadari bahwa teknik pengasuhan yang digunakan justru bisa menjadi dampak buruk bagi anak.
Tak hanya berdampak buruk bagi anak di saat ini, penerapan toxic parenting bisa mengancam masa depan anak, yang artinya ia berisiko mengembangkan perilaku serupa di kemudian hari hingga usia dewasa, misalnya seperti sulit menetapkan keputusan hingga menghindari masalah.
Untuk mencegah hal tersebut, penting bagi orangtua untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan penerapan toxic parenting dalam hal mengasuh anak.
Berikut Popmama.com telah merangkum 9 perilaku toxic parenting yang mengancam masa depan anak.
1. Terlalu melindungi anak dari segala sesuatu
Memang tidak ada orangtua yang suka melihat anak-anaknya mengalami kegagalan, kesakitan, atau kesalahan. Namun terlalu melindungi anak dari segala sesuatu, dapat memiliki efek buruk di masa depan.
Anak-anak yang kurang pengalaman menghadapi masalah dan kegagalan, dapat mengalami kesulitan saat menghadapi tantangan di masa remaja dan dewasa. Ketika sudah remaja atau dewasa kelak, anak-anak mungkin menghindar atau menyuruh orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.
Depresi, kecemasan, dan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, kemungkinan efek jangka panjang dari penghindaran rasa sakit.
2. Strategi pemberian ancaman
Apakah Mama familiar dengan kalimat ini, "Kalau kamu nggak mau nurut, nanti Mama tinggal ya!"? Ini seringkali dilakukan ketika anak tidak menurut, sehingga godaan untuk menggunakan ancaman adalah nyata. Terkadang bahkan ancaman yang digunakan tidak relevan dengan harapan yang diinginkan orangtua.
Memberikan anak acaman, baik itu rasa malu, dan bahkan menakut-nakuti bisa menjadi bumerang. Seorang anak yang dibesarkan dalam ketakutan dan ancaman ini dapat tumbuh menjadi dewasa, yang kesulitan untuk berpikiran sehat dan bermoral.
Alih-alih anak menggunakan kompas moral yang berdasarkan pada kebenaran untuk membuat keputusan, anak cenderung mengikuti pilihan orang lain karena merasa takut, yang mungkin saja bisa merugikannya suatu hari.
3. Memberikan pujian yang terlalu berlebihan
Memberikan pujian pada anak adalah hal yang tepat, karena Mama tentu ingin anak merasa diakui atas upaya dan pencapaiannya yang luar biasa. Memberikan pujian juga dapat meningkatkan motivasi anak untuk berusaha lebih keras.
Meskipun memberikan pujian menjadi cara yang tepat meningkatkan kepercayaan diri anak, selalu memberikan pujian secara berlebihan, bahkan pada saat anak mendapatkan pencapaian yang sangat sederhana, bisa menimbulkan dampak berbahaya.
Anak-anak yang hanya mendengar pujian atas prestasinya, dan bukan karena kerja kerasnya dapat mengembangkan keberhasilan dengan segala cara, apakah itu dengan berbohong, mencuri, atau menipu.
Editors' Pick
4. Memberikan tanggung jawab yang tidak sesuai dengan usia anak
Memberikan anak tanggung jawab yang tidak sesuai dengan usianya adalah perilaku toxic lain yang bisa orangtua wariskan pada anak. Memang benar jika anak-anak membutuhkan pelajaran tanggung jawab, tetapi memberikannya lebih dari kemampuannya, bisa berbahaya.
Anak-anak, seharusnya tidak bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan tugas-tugas yang menjadi milik orang dewasa, seperti urusan finansial keluarga hingga melakukan tugas-tugas rumah tangga yang berat.
Akibatnya, anak kekurangan kepercayaan dan menunjukkan rasa tidak aman yang signifikan pada orangtuanya. Selain itu, memberikan tanggung jawab yang tidak sesuai dengan usia anak, dapat mengakibatkan kecemasan, ketakutan, dan mempertanyakan kemampuan figur otoritas untuk memimpin.
5. Terus mengingatkan anak pada kesalahannya di masa lalu
Anak-anak akan menjadi anak-anak, mereka mungkin sulit mendengarkan, menghabiskan banyak uang orangtua untuk membeli mainan, dan bisa sangat manja. Namun, bukan berarti orangtua dapat memberikan anak label tentang perilakunya, seperti 'anak manja' atau 'anak yang cengeng'
Meskipun ini dilakukan untuk mengingatkan anak agar tidak melakukan perilaku serupa di kemudian hari, upaya terus menerus membahas kesalahan anak hanya dapat mengakibatkan keterampilan koping atau keterampilan mengatasi masalah yang buruk.
Alhasil, ketika anak mulai membangun hubungan sosial dengan teman-temannya, ia mungkin akan tumbuh menjadi anak yang pendendam dan selalu menyalahkan orang lain dalam hal apapun.
6. Menuntut anak untuk mewujudkan cita-cita orangtuanya dulu
Seiring bertambahnya usia, datanglah kebijaksanaan dan seiring waktu mungkin ada penyesalan. Kesempatan-kesempatan pada masa muda yang telah orangtua lewatkan itu telah hilang.
Ketika ada beberapa orangtua yang merelakan mimpinya, ada beberapa orangtua yang berusaha 'menghidupkan' kembali mimpinya di masa lalu melalui anak-anaknya. Meskipun orangtua menginginkan anak memiliki masa depan yang berhasil, bukan berarti mimpi orangtua yang tidak terwujud, dapat dituntut pada anak.
Walau ada beberapa anak yang akhirnya tertarik dan menjalani apa yang orangtuanya cita-citakan, ada anak yang pada akhirnya tidak menerima identitasnya sendiri, dan kesulitan untuk mencapai keinginannya sendiri.
Tak hanya itu saja, ia mungkin juga akan kehilangan impian di masa mudanya seperti yang orangtuanya alami.
7. Mengabaikan perasaan anak
Setiap anak mengalami masalahnya dengan kemampuannya masing-masing. Mungkin jika masalah yang dialami anak adalah hal sepele bagi orangtua, hindari untuk mengabaikan atau tidak mengakui perasaan anak dengan mengatakan "itu bukan masalah", "berhenti menangis", atau "tidak perlu khawatir".
Ini karena kalimat tersebut dapat mengirim pesan bahwa perasaan yang anak alami, adalah perasaan buruk yang tidak boleh ditunjukkan. Pada akhirnya, anak yang terus-menerus diberitahu, akan menghindari atau menyembunyikan emosinya sendiri, dan tak menutup kemungkinan bahwa ia akan mengalami stres hingga depresi.
8. Tidak memiliki waktu untuk hadir menemani anak
Kehadiran orangtua sangat penting bagi perkembangan seorang anak. Tetapi ketika pekerjaan dan aktivitas membatasi kemampuan untuk hadir menemani anak, inilah yang menjadi masalah.
Sehingga penting bagi orangtua untuk menyediakan waktu beberapa jam atau memiliki satu hari di mana orangtua dapat meninggalkan ponsel dan laptopnya untuk menghabiskan waktu bersama anak. Alasannya, karena anak membutuhkan dukungan emosional dan fisik untuk mencapai perkembangan yang sehat.
Seorang anak yang tumbuh dari rumah di mana orangtunya sering tak hadir, cenderung sering bergumul dengan masalah kesehatan mental, membangun hubungan, dan masalah keuangan.
9. Menetapkan ekspektasi yang terlalu tinggi
Terakhir namun tak kalah penting adalah, jangan menetapkan ekspektasi yang terlalu tinggi. Mengajar anak-anak untuk bekerja keras dan berhasil adalah berharga.
Namun, mengharapkan anak untuk menjadi sempurna, adalah ekspektasi yang tidak realistis. Anak-anak yang dituntut untuk mengerjakan apapun dengan "sempurna" dapat mengembangkan sikap, bahwa ia tidak pernah cukup baik ketika mengalami kegagalan,
Itulah beberapa perilaku toxic parenting yang dapat mengancam masa depan anak.
Sama seperti pengasuhan umum lainnya, dinamika keluarga berbeda untuk setiap keluarga. Beberapa anak yang mungkin mengalami pengasuhan ini mungkin dapat belajar mana perilaku yang tepat atau kurang tepat.
Namun bagi yang lain, pengasuhan toxic dari orangtuanya bisa 'bocor' secara diam-diam ke generasi berikutnya. Maka, penting bagi orangtua untuk menghindari anak memiliki pengalaman di atas, agar ia tidak akan memiliki efek yang bertahan lama hingga kehidupan dewasanya.
Baca juga:
- 5 Toxic Masculinity yang Harus Orangtua Hindari pada Remaja Laki-Laki
- 7 Tanda Kamu dan Pasangan Menjadi Toxic Parents bagi Anak
- Orangtua Hati-Hati, Pelajari 5 Hal Ini agar Tak jadi Toxic Parents