Masa perkembangan anak menjadi masa emas untuk membentuk karakter positif mereka yang akan nantinya di bawa hingga dewasa. Salah satunya pembentukan rasa percaya diri yang sehat, tidak kurang dan juga tidak berlebihan.
Dengan memiliki kepercayaan diri, anak akan lebih mudah untuk beradaptasi dalam lingkungan baru. Ia juga akan lebih berani untuk menerima tugas dan tantangan, karena memiliki keyakinan akan mampu melakukannya.
Namun sayangnya, walaupun hampir semua orangtua ingin memiliki anak yang percaya diri, tanpa sadar orangtua justru melakukan hal-hal yang menghambat kepercayaan diri anak.
Untuk menghindari hal tersebut, berikut ini Popmama.com akan membahas 7 sikap orangtua yang menghambat rasa percaya diri anak, di bawah ini:
1. Selalu melakukan segala sesuatunya untuk anak, hingga hal sepele
Freepik/master1305
Terkadang orangtua bermaksud memudahkan anak dan meringkas waktu agar segalanya berjalan lebih cepat dan tepat waktu. Sayangnya, hal ini membuat orangtua terus menerus melakukan segala sesuatunya untuk anak, bahkan hingga hal-hal sepele.
Seperti menyiapkan perlengkapan sekolah atau membuatkan tugas sekolah anak, sehingga anak jadi tidak tahu kalau dirinya mampu melakukannya sendiri.
Bahkan untuk hal-hal yang lebih sulit, orangtua memiliki kewajiban untuk mengajarkan anak cara menyelesaikannya. Bukan selalu melakukannya untuk anak. Pengetahuan anak tentang kemampuan diri sendiri adalah hal penting, agar anak memiliki kepercayaan diri.
2. Membesar-besarkan kesalahan anak dan tidak toleran
Freepik/Freephoto
Sepanjang proses belajar anak, tentunya ia akan melakukan berbagai kesalahan. Dari kesalahan itulah ia dapat belajar melakukan sesuatu dengan lebih baik lagi.
Oleh karena itu, orangtua harus bisa untuk bersikap lebih toleran pada kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak. Karena, tentunya anak tidak sengaja melakukannya, bukan?
Bila orangtua terus membesar-besarkan kesalahan anak, sekecil apapun itu, membuat anak kehilangan rasa berani untuk mencobanya lagi. Ia akan menjadi selalu ragu dan tidak berani berinisiatif, karena ia akan berpikir lebih baik diam daripada dimarahi ketika salah.
Editors' Pick
3. Mengkritik anak dengan keras saat ia mengalami kegagalan
Freepik/peoplecreations
Walaupun perlu diajari untuk menerima kritik, namun jangan sampai orangtua tidak dapat mengimbangi kritik dan apresiasi. Bahkan saat anak mengalami kegagalan, bukan berarti ia tidak bisa diapresiasi.
Paling tidak, anak sudah berani mencoba dan berusaha melakukan yang terbaik. Justru akan semakin buruk jika kritik yang disampaikan orangtua terlalu keras. Bagi orang dewasa, kritik keras mungkin akan terasa biasa.
Namun bagi anak yang masih cenderung sensitif dan minim pengalaman, cara menyampaikan kritik yang tidak tepat akan membuatnya merasa terluka dan kehilangan keberanian, ketimbang termotivasi.
4. Membandingkan prestasi anak dengan prestasi anak-anak yang lainnya
Freepik/Wavebreakmedia
Menceritakan prestasi anak lain di depan anak, memang boleh dilakukan karena anak perlu tahu. Tapi, pastikan memilih kalimat yang tepat, karena berbeda antara mengabarkan dengan membandingkan anak sendiri dengan anak yang lainnya.
Jika hanya sekadar mengabarkan prestasi anak lain, anak juga akan menerimanya biasa-biasa saja. Bahkan mungkin anak juga akan menceritakan prestasi teman-temannya yang lain.
Tetapi, jika orangtua justru membandingkan anak lain dengan anak sendiri bahkan menyudutkannya, ia akan merasa tertekan dan malu. Anak bisa menjadi selalu merasa kurang dari anak-anak lainnya dalam hal apapun.
Ia juga akan merasa tidak berharga bagi siapapun, termasuk bagi orangtuanya sendiri
5. Tidak memberi tahu potensi dan kemampuan yang dimiliki anak
Freepik
Mengenali potensi diri sendiri memang tidak mudah dilakukan, terlebih bagi anak-anak. Oleh karena itu, orangtua perlu memberi tahu anak. Tentu tidak secara asal, melainkan berdasarkan pengamatan keseharian anak, dari buku rapor, laporan guru, bahkan bila perlu dari hasil tes psikologi.
Bukan hanya kelebihan di bidak akademik yang orang perlu diapresiasikan, namun juga kemampuan di bidang non-akademik dan juga sifat-sifat baik anak.
Seperti rajin, selalu mau membantu orangtua, ramah, dan sifat-sifat positif lainnya.
6. Tidak diberikan kesempatan untuk memilih dan menyampaikan pendapat
Freepik
Jika di rumah anak tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih dan menyampaikan pendapat, sampai dewasa ia akan kesulitan untuk mengungkapkan opini nya pada orang lain.
Ia akan selalu khawatir gagasannya akan keliru atau malah hanya akan mengundang tawa. Bahkan ia bisa merasa tidak pernah memiliki pendapat apapun dan asal menjadi pengikut orang lain.
Hal ini tentu bisa berbahaya, selain dirinya menjadi tidak berkembang, ia berisiko terjerumus memiliki tindakan negatif akibat mengikuti orang yang tidak baik.
7. Terlalu membatasi pergaulan anak hingga ia merasa tidak punya teman
Freepik/drobotdean
Pergaulan anak memang perlu dibatasi agar tidak salah, namun membatasi bukan berarti membuat anak merasa tidak punya teman. Pastikan anak masih berada di lingkungan yang aman.
Karena, anak butuh terhubung dengan teman-teman sebayanya dan saling belajar satu sama lain. Dalam pergaulan dengan teman sebaya, anak dapat belajar menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus mengendalikan kepercayaan diri agar tidak berlebihan.
Sebab bila berlebihan, tentunya akan kurang disukai oleh teman-temannya.
Memang tidak mudah Ma, untuk menanamkan karakter percaya diri yang sehat pada anak. Namun, dengan mengingat 7 sikap yang perlu dihindari tersebut, semoga Mama dapat menerapkannya di rumah dan membentuk karakter anak dengan rasa percaya diri dengan baik.