Kisah Anak 6 SD Trauma Berbicara Akrab dengan Papanya
Perkataan menyakitkan dari orangtua di masa kecil anak menimbulkan luka mendalam hingga ia dewasa
8 Maret 2023
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Terkadang apa yang orangtua sampaikan ketika sedang kesal atau dengan niat "bergurau" pada anak bisa menimbulkan efek yang mendalam bagi anak.
Bukan hanya merasa tersinggung atau sedih, dia juga akan merasa trauma. Bahkan perkataan tersebut akan terus terngiang-ngiang di kepala sampai besar.
Umumnya, dia juga meyakini kalau perkataan sang orangtua tentang dirinya memang fakta.
Salah satu contoh tampak dari cerita seorang Anonim di Quora yang merasa trauma karena perkataan Papa-nya ketika ia masih kecil.
Dampak dari perkataan tersebut terbawa hingga dewasa dan dia juga selalu menghindari sang Papa.
Melalui cerita yang dibawakan oleh akun @perempuanfreelancer di Tiktok, berikut Popmama.com kemas cerita ini untuk dibaca ulang Mama dan anak. Selamat membaca kisah anak 6 SD trauma berbicara akrab dengan Papanya.
1. Seorang anak merasa tidak percaya diri dengan penampilannya
Kisah dimulai dengan seorang anak perempuan di kelas 6 SD yang memiliki seorang adik perempuan. Penampilan keduanya bisa dibilang cukup berbeda.
Si Adik yang masih duduk di kelas 3 SD memiliki paras yang cantik dan sering dikira memiliki keturunan darah asing. Ia memiliki rambut cokelat dan ikal, atau istilahnya rambut keriting gantung alami.
Sementara itu, si Anak tidak percaya diri dengan penampilannya. Dia memiliki tubuh yang kurus dan warna kulit yang gelap.
Anak-anak lain di sekolah dan tetangganya sering mengejek dan menindas secara verbal. Memanggilnya dengan sebutan-sebutan yang menyinggung. Seolah-olah memang sengaja menyerang si Anak. Lebih parah lagi, sang Papa bahkan sering menjulukinya "Si Hitam".
Meskipun tidak ada yang salah dengan penampilan atau warna kulitnya, tetapi ucapan jahat dari orang tentu sangat mempengaruhi perasaannya.
Editors' Pick
2. Sang Papa melontarkan candaan yang menyakiti hati si Anak
Suatu hari, tepatnya pada Hari Valentine yang dirayakan pada 14 Februari, si Anak dan keluarganya sedang duduk bersama di ruang TV. Tiba-tiba si Adik berkata, "Ma, Pa, tadi adek dikasih bunga sama temen cowok adek di sekolah."
Setelah si Adik mengumumkan bahwa ia diberikan bunga oleh teman cowoknya, sang Papa langsung tertawa.
"Ya iyalah, kamu 'kan cantik. Emang kayak si Mbak," ucap Papa, menujukan panggilan 'mbak' itu untuk anak pertamanya. "Diobral juga tetep nggak ada yang mau."
Seketika si Anak terkejut mendengar celetukan menyakitkan dari Papa. Ditambah lagi, bukannya membela justru si Mama hanya menegur Papa. "Hush! Jangan gitu ngomongnya," ucapnya.
Melihat reaksi kedua orangtuanya, si Anak merasa sedih dan ingin menangis. Entah mengapa, ia merasa bahwa Mama pun sebenarnya setuju dengan ucapan Papa. Namun, dia lebih memilih untuk menyangkalnya.
3. Trauma dibandingkan dan diejek orangtua membekas hingga si Anak dewasa
Sejak hari itu, si Anak dengan Papa menjadi berubah. Ia sengaja menjaga jarak dan tidak pernah berbicara lagi dengannya, kecuali jika diajak bicara lebih dahulu. Hal ini dikarenakan dia takut dipermalukan lagi oleh Papa.
Saat itu, yang si Anak rasakan hanyalah sakit hati.
Bahkan setelah beranjak dewasa pun, hubungan si Anak dengan sang Papa tetap tidak bisa pulih. Mama sering bertanya kepadanya, "Kenapa sih kamu kalo sama Papa kok menghindar, cenderung takut, nggak mau berinteraksi, dan hanya diam?"
Ya, kedua orangtuanya sudah melupakan kejadian yang menimbulkan trauma di hatinya. Si Anak mengingat bahwa Papa memang cenderung sering melontarkan kata-kata menyakitkan ke orang lain, lalu melupakan perkataan kasarnya tersebut.
Papanya juga merupakan orang yang cukup kaku ketika menjalin hubungan. Akhirnya, ia pun ikut menjaga jarak dengan si Anak. Tidak ada kata maaf atau usaha untuk mengembalikan relasi ayah-anak yang baik.
4. Ejekan yang telah dilupakan si Papa menimbulkan efek pada diri Anak
Ucapan Papa dari belasan tahun yang lalu memang dituturkan dengan santai tanpa beban. Seolah-olah tidak memiliki niat menyakiti hati siapa pun.
Namun, bagi si Anak yang diejek oleh orangtuanya sendiri, hal tersebut membuatnya sakit hati. Bahkan membuatnya memiliki citra diri yang buruk, membuatnya yakin kalau dirinya itu jelek. Tidak akan ada yang mau bersamanya, entah itu perihal teman atau pasangan.
Akibatnya, si Anak menjadi insecure, lebih tertutup, dan juga tetap mendapat tindasan verbal dari anak-anak di sekolahnya.
Saat ini, si Anak sudah menikah dan terkadang masih sering meragukan cinta suaminya sampai overthinking sendiri. Ia berpikir kalau sang suami mungkin suatu hari akan meninggalkannya atau hanya menikah karena merasa kasian.
Padahal, sang suami benar-benar mencintainya dan sering mengajaknya untuk memahami betapa berharga dirinya.
5. Jangan pernah membandingkan anak dengan orang lain
Efek dari trauma perkataan jahat Papa membuat si Anak menjadi sakit hati dan takut kembali mendengar kata-kata jahatnya, bahkan hingga ia dewasa sekali pun.
Sebagai orangtua, Papa dan Mama seharusnya melindungi serta menyayangi anak sepenuh hati. Memujinya di kala anak memperoleh sebuah pencapaian, menasihatinya dengan baik saat ia melakukan kesalahan, dan menenangkannya ketika sedang sedih.
Hal paling utama yang tidak boleh orangtua lakukan kepada anak adalah membandingkan dirinya dengan orang lain. Selain itu, mengatakan hal jahat seperti jelek, bodoh, aneh, dan ucapan kasar lainnya pada anak pun sangat dilarang ya, Ma.
Tidak ada yang senang dihina, bukan? Bahkan orang dewasa pun bisa sakit hati jika ada yang menghinanya, apalagi anak yang mudah tersinggung.
Demikian kisah anak 6 SD trauma berbicara akrab dengan Papanya.
Selalu ingat, sadar atau tidak sadar berlatihlah untuk tidak mengucapkan perkataan kasar pada anak ya, Ma. Kalau ada yang mengejeknya, Mama juga harus menjadi backup untuknya agar tidak trauma.
Baca juga:
- 5 Tips Efektif Mendidik Anak agar Tidak Mudah Insecure
- 10 Tips Menciptakan Hubungan Harmonis Orangtua dan Anak Remaja
- 5 Jenis Kecemasan pada Anak yang Disebabkan oleh Trauma