Pada Selasa, 10 November 2020 seluruh rakyat Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional. Kita terus mengenang jasa-jasa para pahlawan.
Sejarah perjuangan menuju kemerdekaan juga terus kita sampaikan pada anak-anak penerus bangsa.
Berkaitan dengan Hari Pahlawan, Presiden Jokowi memberikan anugerah gelar Pahlawan Nasional kepada 6 tokoh bangsa Indonesia. Pemberian gelar dilakukan pada 8 November 2019, demikian dilansir dari laman IDN Times.
Presiden memberikan gelar Pahlwan Nasional karena para tokoh sudah memiliki andil dalam membangun bangsa dan negara.
Keputusan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional itu termaktib dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK Tahun 2019, tanggal 7 November 2019.
Penting memberitahukan siapa saja tokoh yang menjadi Pahlwan Nasional ini kepada anak-anak. Mereka perlu mengetahui kisah singkat dari masing-masing orang hebat yang terpilih.
Ini tentu dapat memotivasi anak untuk lebih cinta Tanah Air dan meningkatkan rasa Nasionalisme dalam diri anak.
Alexander Andries Maramis atau AA Maramis adalah pria kelahiran di Manado, Sulawesi Utara, 20 Juni 1897 dan meninggal di Jakarta, 31 Juli 1977 di usia 80 tahun.
Ia adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang pernah menjadi anggota BPUPKI dan KNIP bersama Kahar Mudzakkir serta KH Masjkur.
Maramis juga sempat mengemban jabatan sebagai Menteri Keuangan kedua pada 26 September 1945-14 November 1945 dan digantikan oleh Soenarjo Kolopaking dan kembali menjabat di beberapa periode berikutnya.
Selain itu Maramis juga menjadi orang yang menandatangani Oeang Republik Indonesia (ORI) pertama.
Maramis pernah memjabat Menteri Luar Negeri Indonesia dengan masa jabatan sejak 19 Desember 1948–13 Juli 1949 serta beberapa kali mengemban jabatan sebagai Duta Besar Indonesia.
2. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir
Dok. Setpres Biro Pers Kepresidenan
Abdul Kahar Mudzakkir adalah salah seorang tokoh Muslim yang memiliki jasa ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) yang bertransformasi menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) mulai didirikan dan dikembangkan.
K.H. Kahar Mudzakki pernah menjabat sebagai sebagai rektor selama dua periode, yakni 1945—1948 dan 1948—1960.
Ia lahir pada 16 April 1907 di Gading, Playen, Gunungkidul, Yogyakarta dan meninggal dunia pada 2 Desember 1973 di umur 66 tahun.
Selain itu ia juga berperan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Editors' Pick
3. K.H Masjkur
Dok. Setpres Biro Pers Kepresidenan
Gelar Pahlawan Nasional juga diberikan kepada KH Masjkur yang merupakan mantan Menteri Agama Indonesia tahun 1947-1949 dan tahun 1953-1955.
K.H Masjkur adalah pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 30 Desember 1904. Masjkur tercatat pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI tahun 1956-1971 serta anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1968.
Ia juga terlibat dalam perjuangan di zaman pendudukan Jepang, di mana beliau kala itu tergabung sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan pendiri Pembela Tanah Air (PETA) yang kemudian menjadi unsur laskar rakyat serta TNI di seluruh Jawa.
Namanya sempat muncul sebagai pemimpin Barisan Sabilillah pada pertempuran 10 November 1945.
4. Sultan Himayatuddin
Setpres Biro Pers Kepresidenan
Pahlawan Nasional lainnya adalah La Karambau yang bergelar Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau Oputa Yi Koo adalah Sultan Buton ke-20 pada tahun 1752–1755 serta yang ke-23 pada 1760–1763. Kesultanan Buton berada di Pulau Buton, di sebelah tenggara Pulau Sulawesi.
Sultan Himayatuddin kerap turun langsung ke medan perang untuk melawan dan menentang pemerintahan Hindia Belanda dalam Perang Buton.
Kala itu, VOC Belanda membuat aturan untuk membatasi pelayaran orang Buton dan pembebasan pajak atas kapal VOC Belanda yang berlabuh di Pelabuhan Buton serta penghancuran tanaman rempah di lahan Buton.
Sultan Himayatuddin menetap di Siontapina hingga meninggal pada 1776 dan dimakamkan di puncak Gunung Siontapina.
5. Prof. Dr. M. Sardjito
Dok. Setpres Biro Pers Kepresidenan
Pahlawan Nasional berikutnya adalah Prof. Dr. M. Sardjito, M.D., M.P.H. lahir di Magetan, Jawa Timur, 13 Agustus 1889 dan meninggal di Yogyakarta, 5 Mei 1970 pada umur 80 tahun.
Sardjito adalah dokter yang menjadi Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pada masa perang kemerdekaan, Sardjito ikut juga turut serta dalam proses pemindahan Institut Pasteur di Bandung ke Klaten.
Ia sempat menjadi Presiden Universiteit yang kini disebut UGM. Selain itu, juga adalah rektor ketiga Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Ia adalah seorang dokter lulusan STOVIA yakni sekolah kedokteran di zaman kolonial Belanda pada tahun 1915. Ayahnya berprofesi sebagai guru dan hal itulah yang membuatnya peduli pada bidang pendidikan.
Sardjito berjasa dengan mengobati para pejuang kemerdekaan dengan menyediakan obat serta vitamin bagi prajurit saat perang kemerdekaan Indonesia.
Dia juga membangun pos kesehatan bagi para tentara di Yogyakarta dan sekitarnya, serta menjadi pelopor pembuat biskuit untuk tentara Indonesia di masa perang dan diberi nama biskuit Sardjito.
6. Ruhana Kudus
Dok. IDN Times
Tak hanya laki-laki, namun ada pula perempuan yang mendapat gelar Pahlawan Nasioal.
Ia adalah Ruhana Kudus atau kadang dikenal dengan nama Rohana Kudus yang merupakan seorang wartawan perempuan pertama di Indonesia yang berasal dari Sumatra Barat.
Rohana Kudus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada 20 Desember 1884. Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan yang berprofesi sebagai jurnalis. Sedangkan ibunya bernama Kiam yang bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Ruhana juga merupakan kakak tiri dari dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama dan bibi dari penyair Chairil Anwar serta sepupu dari K.H. Agus Salim.
Jurnalis andal ini merupakan pendiri Sekolah Kerajinan Amaia Setia (KAS) di Koto Gadang yang mendidik keahlian anak-anak perempuan.
Selain itu, ia juga pendiri surat kabar Soenting Melajoe pada Juli 1912. Rohana sempat bekerja di surat kabar Oetoesan Melajoe yang terbit sejak 1911.
Itulah deretan 6 tokoh yang menjadi Pahlawan Nasional dan bisa diceritakan kisahnya pada anak. Namanya akan tercatat dalam sejarah Indonesia.