Kekerasan dalam segala bentuknya merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus. Namun, seringkali perhatian tersebut hanya terfokus pada mengatasi konsekuensi kekerasan tanpa cukup memperhatikan pencegahannya.
Salah satu pendekatan paling efektif untuk mengatasi kekerasan adalah dengan mencegahnya terjadi sejak dini, terutama pada anak-anak.
Segala hal yang dilakukan anak-anak tergantung dari lingkungan di sekitar mereka. Kualitas lingkungan di mana mereka tumbuh berkorelasi langsung dengan pola perilaku mereka.
Oleh karena itu, memberikan fondasi yang kuat untuk anak-anak adalah langkah awal yang krusial dalam mencegah mereka terjerumus ke hal-hal yang buruk, termasuk dalam melakukan kekerasan.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan anak mengembangkan perilaku kekerasan. Di antaranya adalah paparan terhadap kekerasan di lingkungan sekitar, pengalaman trauma, ketidakmampuan untuk mengelola emosi dengan baik, dan kurangnya keterampilan dalam menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Penting bagi orangtua untuk memahami dan mengidentifikasi faktor-faktor ini agar dapat mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat.
Anak-anak yang sudah terkontaminasi lingkungan yang negatif dan berpotensi dapat melakukan kekerasan pada orang-orang di sekitarnya juga memiliki ciri-ciri yang dapat dikenali.
Kali ini Popmama.com akan memberikan informasi tentang 9 ciri anak yang berpotensi melakukan kekerasan. Simak informasinya di bawah ini.
1. Emosi yang berlebihan
Freepik/jcomp
Anak yang sering menunjukkan tingkat emosi dan kemarahan yang tidak proporsional terhadap situasi tertentu mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan kekerasan. Karena emosi mereka yang selalu tidak stabil dan sangat sulit dikontrol, mereka akan cenderung menyelesaikan konflik dengan cara yang kasar dan tidak terkendali.
Mama dan Papa dapat membantu anak mengatasi agresi dan kemarahan yang berlebihan dengan memberikan mereka keterampilan pengelolaan emosi. Ini dapat mencakup teknik pernapasan dalam, mengajarkan anak untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang sehat, serta memberikan contoh perilaku yang tenang dan terkendali.
2. Kurang rasa empati
Pexels/Agung Pandit Wiguna
Anak yang kurang mampu memahami atau merasakan perasaan orang lain mungkin lebih cenderung bersikap tidak peduli terhadap dampak perilaku mereka pada orang lain. Kekurangan empati ini dapat memungkinkan mereka untuk melakukan tindakan kekerasan tanpa memperhatikan konsekuensinya.
Mama dan Papa dapat mengembangkan empati pada anak dengan membantu mereka memahami perasaan dan perspektif orang lain. Dengan melibatkan serta mendengarkan dengan penuh perhatian ketika mereka sedang berbicara, mengajarkan mereka untuk memikirkan bagaimana tindakan mereka memengaruhi orang lain, dan memberikan contoh empati dalam interaksi sehari-hari. Jika Mama dan Papa sudah terbiasa untuk memberikan contoh yang baik tentang bagaimana cara berempati terhadap orang lain, maka perlahan anak juga akan mengikutinya.
3. Kecenderungan untuk membully
Freepik/gpointstudio
Anak-anak yang sering melakukan perilaku membully terhadap teman sebayanya atau orang lain mungkin memiliki kecenderungan untuk menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengekspresikan kekuasaan atau kontrol dirinya atas orang lain. Perasaan menjadi yang harus paling dihormati dan ditakuti oleh teman-temannya juga dapat menimbulkan perasaan untuk melakukan kekerasan.
Sebagai orangtua Mama dan Papa harus mengajarkan anak tentang pentingnya menghormati dan mendukung teman sebayanya. Ini melibatkan pembicaraan terbuka tentang konsekuensi dari perilaku membully, menetapkan aturan yang jelas tentang bagaimana berinteraksi dengan orang lain, dan memberikan contoh perilaku yang baik dalam hubungan sosial.
Editors' Pick
4. Keterlibatan dalam melakukan perilaku yang merusak
quickmeme.com
Anak yang sering terlibat dalam tindakan merusak, seperti merusak benda, properti, atau mencelakai hewan di sekitarnya, dapat menunjukkan kecenderungan untuk mengekspresikan kekerasan dalam bentuk lain.
Orangtua dapat membantu anak mengalihkan energi mereka ke aktivitas yang konstruktif dan positif, seperti olahraga atau seni kreatif. Mama dan Papa juga dapat membimbing anak dalam memahami konsekuensi dari perilaku merusak dan mendorong mereka untuk membangun kepedulian terhadap lingkungan dan benda atau properti milik sendiri maupun orang lain.
5. Sering bermain game yang penuh dengan kekerasan
Freepik/rawpixel.com
Anak yang sering mengungkapkan kekerasan dalam permainan atau hobi mereka, seperti video game yang mengandung kekerasan dan kontak fisik yang agresif, mungkin memperkuat pola perilaku kekerasan. Karena mereka akan cenderung meniru perilaku karakter yang mereka mainkan di dalam game ke dunia nyata.
Orangtua dapat membimbing anak untuk memahami perbedaan antara realitas dan fiksi, serta konsekuensi dari menggunakan kekerasan dalam permainan atau hobi. Ini melibatkan pengawasan terhadap konten media yang dikonsumsi anak dan membantu mereka memilih hobi yang mempromosikan kerjasama dan kreativitas daripada melibatkan kekerasan.
6. Memiliki trauma
Freepik
Anak-anak yang telah mengalami atau terpapar pada pengalaman kekerasan atau trauma secara langsung, baik di rumah, sekolah, atau dalam lingkungan lainnya, mungkin lebih rentan terhadap menunjukkan perilaku kekerasan sendiri. Karena, mereka telah terbiasa untuk melihat hal-hal buruk tersebut dan tidak pernah mendapatkan pendidikan atau perhatian khusus untuk menghindarinya.
Mama dan Papa harus mencari bantuan profesional jika anak telah mengalami kekerasan atau trauma seperti psikolog. Mereka dapat membantu anak memproses pengalaman mereka melalui terapi, memberikan dukungan emosional yang berkelanjutan, dan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung di rumah.
7. Mengisolasi diri
Freepik
Anak yang sering mengisolasi diri dari interaksi sosial atau kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat dengan teman sebaya atau orang dewasa mungkin mengalami frustrasi dan kesepian yang dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan.
Orangtua dapat membantu anak mengatasi isolasi sosial dengan mendorong partisipasi dalam kegiatan sosial dan klub atau organisasi yang sesuai dengan minat mereka. Mama dan Papa juga harus selalu menciptakan lingkungan yang terbuka dan penuh akan kasih sayang di rumah, di mana anak dapat merasa didukung dan diterima
8. Penggunaan zat-zat berbahaya
Freepik/azerbaijan_stockers
Anak-anak yang terlibat dalam penyalahgunaan zat atau alkohol memiliki risiko lebih tinggi untuk terlibat dalam tindakan kekerasan. Zat-zat tersebut dapat mengganggu proses pengambilan keputusan dan mengurangi hambatan untuk melakukan kekerasan.
Mama dan Papa harus memberikan dukungan dan pemahaman kepada anak tentang bahaya penyalahgunaan zat serta memberikan perhatian ekstra terhadap pengawasan anak. Mama dan Papa juga harus waspada, karena saat ini banyak sekali jenis narkoba yang beredar dengan bentuk-bentuk tertentu dan dapat menarik perhatian anak-anak.
10. Ketidakstabilan keluarga
Freepik/pressfoto
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak stabil, termasuk konflik orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, atau kurangnya dukungan emosional, mungkin mengalami ketidakstabilan emosional yang dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan.
Orangtua harus berusaha untuk menciptakan lingkungan keluarga yang stabil dan penuh kasih. Ini dapat melibatkan komunikasi terbuka, menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat, dan memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan emosional anak. Hal tersebut juga harus tetap dilakukan, meskipun keduanya sudah saling berpisah.
Itulah 9 ciri anak yang berpotensi melakukan kekerasan. Mencegah anak-anak dari melakukan kekerasan memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. Namun jika orangtua membangun fondasi yang kuat melalui pendidikan, pola asuh yang positif, dan penciptaan lingkungan yang aman, anak-anak dapat diarahkan ke jalan yang damai dan tentunya positif. Dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan masyarakat di mana kekerasan bukanlah sebuah hal yang lumrah, tetapi perdamaian dan penghargaan terhadap sesama menjadi nilai yang dijunjung tinggi.