DKI Jakarta, Ibu Kota Negara Indonesia yang saat ini sudah berusia 496 tahun. Sudah hampir setengah abad sejak didirikan, DKI Jakarta kini menjelma menjadi kota metropolitan.
Banyak pendatang dari luar wilayah yang berbondong-bondong datang untuk mengadu nasib di Jakarta. Itu bukan tanpa alasan, mengingat aktivitas ekonomi di Jakarta yang seolah tidak pernah beristirahat, tentu saja peluang kerja yang tersedia juga sangat variatif. Baik bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan, maupun sebagai perintis UMKM.
DKI Jakarta terdiri dari lima kota administrasi yaitu, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat.
Di setiap kota administrasinya, Jakarta mempunyai nama jalan yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga banyak orang.
Sebut saja Menteng, dikenal sebagai salah satu kawasan elite yang pernah menjadi daerah tempat tinggal mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama.
Selain itu ada Senayan. Di wilayah ini terkenal berdirinya gelanggang olah raga yang acap kali dipakai untuk ajang adu tenaga internasional seperti, Stadion Gelora Bung Karno, dan Tennis Indoor Stadium Senayan.
Di balik ingar-bingarnya, ternyata daerah-daerah tersebut memiliki beragam cerita dari masa lalu. Mulai dari pemilihan nama hingga dulunya daerah tersebut adalah tempat yang sangat berkaitan dengan sejarah Indonesia.
Sebelum menjadi permukiman elite seperti yang dikenal sekarang ini, konon Menteng memang sudah menjadi pemukiman elite sejak jaman colonial Belanda.
Dulunya, Menteng merupakan kawasan yang dikelilingi oleh hutan dan dihuni oleh hewan buas. Daerah ini banyak ditumbuhi oleh pohon Menteng atau berracua racemosa. Pohon tersebut lah yang akhirnya dijadikan masyarakat untuk menyebut daerah ini.
Namun, sejak Menteng dibuka untuk umum pada 1810, daerah tersebut perlahan ramai.
Kemudian sekitar 1912, Gubernur Jenderal Wilem Herman Daendels membangun perumahan untuk pegawai pemerintah Hindia Belanda di Menteng.
Dalam perkembangannya, Menteng terbagi menjadi beberapa nama lainnya. Sehingga terdapat kampung kecil di dalamnya seperti Menteng Atas, Menteng Dalam, dan Menteng Pulo.
Selain itu, daerah Guntur juga dikembangkan sebagai Niew-Menteng, dan pada akhirnya bersama kampung Menteng kecil lainnya masuk bagian Jakarta Selatan.
2. Senayan
Google.com/maps
Senayan menjadi salah satu daerah yang sangat terkenal di DKI Jakarta, karena berdirinya bangunan-bangunan ikonik seperti Stadion Gelora Bung Karno dan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di sana.
Lantas, darimanakah asal nama Senayan? Zaenuddin HM menjelaskan dalam buku karyanya berjudul 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe setebal 377 halaman.
Nama Senayan berasal dari tanah tempat tinggal atau tanah milik seseorang yang bernama Wangsanayanpada masa lampau. Wangsanayan diyakini sebagai seseorang yang berasal dari Bali, berpangkat Letnan, lahir sekitar 1680, dan kemudian tinggal di Batavia.
Pada peta yang diterbitkan Topographische Bureau Batavia pada 1902, kawasan Senayan masih ditulis Wangsanajan atau Wangsanayan. Sebutan Wangsanayan lambat laun berubah. Hal itu dikarenakan masyarakat lebih mudah mengucapkannya dengan kata Senayan.
3. Cikini
Google.com/maps
Cikini merupakan kawasan yang terletak di daerah Menteng , Jakarta Pusat.
Penamaan Cikini telah ada sejak masa kolonial Belanda. Nama Cikini mengambil dari dua kata yaitu "Ci" yang berarti sungai dan "Kini" adalah buah-buahan sejenis mangga yang tumbuh subur di daerah tersebut.
Cikini adalah tanah milik seorang pelukis tersohor pada zaman kolonial Belanda yang bernama Raden Saleh, yang membangun sebuah rumah dan taman yang luas di daerah tersebut.
Taman di rumah tersebut akhirnya dijadikan taman umum dan kebun binatang tahun 1862 yang diberi nama Planten En Dierentuin. Hingga akhirnya pada tahun 1960 kebun binatang tersebut dipindahkan ke Ragunan Pasar Minggu.
Kini, tempat tersebut sudah berubah menjadi kantor dan ruang kuliah mahasiswa Fakultas Perfilman dan Televisi dari Institut Kesenian Jakarta.
4. Glodok
Google.com/maps
Glodok adalah salah satu kawasan di Jakarta Barat, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Pecinan karena kabarnya banyak masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal dan beraktivitas di daerah tersebut.
Asal-usul nama Glodok sendiri memiliki berbagai versi.
Ada yang menyebutkan bahwa nama Glodok berasal dari bahasa Sunda golodog, yang berarti pintu masuk rumah karena saat itu Sunda Kelapa (Jakarta) merupakan pintu masuk utama ke Kerajaan Sunda.
Selanjutnya, ada versi lain yang menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1670-an, ada sebuah waduk penampungan air dari Ciliwung yang mengucur lewat pancuran kayu dari ketinggian 10 kaki.
Konon, pancuran tersebut sering berbunyi 'geluduk-geluduk' sehingga warga setempat menyebutnya Glodok.
Editors' Pick
5. Kwitang
Google.com/maps
Diketahui di daerah ini terdapat seorang saudagar kaya Tionghoa bernama Kwik Tang Kiam.
Konon, hampir semua wilayah di daerah tersebut merupakan tanah milik Kwik Tang Kiam. Oleh sebab itu, masyakarat di daerah tersebut menyebutnya sebagai daerah Kwik Tang dan perlahan berubah menjadi Kwi tang.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Kwik Tang memiliki seorang anak tunggal yang sangat hobi berjudi dan mabuk-mabukan. Hingga ketika sang ayah meninggal, semua hartanya habis dijual oleh sang anak.
Sebagian besar hartanya dibeli oleh orang-orang keturunan Arab, hingga pada kemudian hari daerah ini banyak dihuni oleh orang-orang keturunan Arab.
6. Ragunan
Google.com/maps
Ragunan juga menjadi salah satu daerah yang sangat terkenal di DKI Jakarta. Di sini berdiri sebuah kebun binatang yang sudah tak asing lagi namanya yaitu Taman Margasatwa Ragunan.
Kebun binatang tersebut awalnya pertama kali didirikan oleh seorang pelukis terkenal bernama Raden Saleh, di halaman rumahnya di kawasan Cikini.
Namun, seiring perkembangan Jakarta, Cikini dinilai tak lagi cocok dijadikan lokasi kebun binatang tersebut. Sehingga, disiapkan lah tanah seluas 30 hektar di Ragunan.
Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelar yang disandang tuan tanah pertama di kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar atau yang dikenal dengan Sultan Haji.
Pada 1689, diketahui Cardeel menetap di Batavia dan menjadi tuan tanah yang kaya raya.
Tanahnya yang luas kini diberi nama Ragunan yang diambil dari sebutan Pangeran Wiraguna. Di daerah ini pula ia dimakamkan, dan makamnya pun dikeramatkan oleh sebagian masyarakat setempat.
7. Harmoni
Google.com/maps
Tak kalah dari Ragunan, nama Harmoni yang berada di Jakarta Pusat juga cukup populer. Harmoni berlokasi di persimpangan Jalan Majapahit dan letaknya tak jauh dari Istana Negara.
Nama Harmoni rupanya berasal dari nama gedung yang sangat penting di Batavia dalam kekuasaan kolonial Hindia Belanda, sekitar abad ke-17 dan ke-18.
Gedung itu bernama Sosietiet De Harmonie, yang menjadi tempat berpestanya kaum sosialita Belanda, dilanjutkan saat Inggris berkuasa di Batavia.
Mereka sering berkumpul, beramah-tamah, dan mencari jodoh di gedung besar berarsitektur Belanda itu. Di tempat itu juga sering terjadi keributan akibat pesta dan dansa disertai mabuk minuman keras.
Pemprov DKI Jakarta pada 1985 membongkar gedung bersejarah itu persis ketika gedung yang pernah berjaya tersebut berumur 170 tahun.
Meski bangunan bersejarah Sosietiet De Harmonie sudah tidak ada lagi, tempat dan kawasan itu tetap disebut Harmoni.
8. Kemayoran
Google.com/maps
Kemayoran juga menjadi salah satu daerah di DKI Jakarta yang memiliki sejumlah cerita di baliknya.
Nama daerah yang terletak di Jakarta Pusat ini berasal dari kata mayor, yang merupakan jabatan atau pangkat yang diberikan pemerintah Belanda kepada orang-orang yang dinilai berjasa kepada kompeni.
Saat itu, jabatan mayor tak hanya diberikan kepada orang Belanda, tapi juga diberikan kepada orang-orang China. Mereka diberi tugas untuk menarik pajak dari penduduk yang wajib dibayarkan dari tanggal 1 hingga 10 setiap bulannya. Pajak yang ditarik ada dua macam, yaitu pajak tempat tinggal dan pajak penggarap sawah hasil bumi.
Atas jabatan yang dimilikinya itu, para mayor memiliki kekayaan yang berlimpah ruah serta tanah yang luas. Karena itu, mereka mendapat julukan sebagai tuan tanah.
9. Pondok Gede
Google.com/maps
Pondok Gede merupakan perbatasan antara Bekasi dan Jakarta. Berdasarkan literatur-literatur sejarah yang dirangkum dari berbagai sumber, dahulu terdapat sebuah bangunan besar yang menjadi cikal bakal nama Pondok Gede.
Bangunan perpaduan gaya Eropa dan Jawa itu dibangun pada tahun 1775 oleh seorang pendeta asal Belanda bernama Johannes Hooyman.
Bentuk gedung tersebut sangat panjang dengan atap besar. Lantai satu dibangun dalam gaya Indonesia terbuka dengan serambi pada ketiga sisinya (joglo). Sementara bagian depan yang bertingkat dua, dibangun gaya tertutup Belanda. Rumah kombinasi dua gaya ini dulu sangat lazim pada rumah-rumah tuan tanah.
Menurut Adolf Heuken dalam bukunya Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, interior rumah ini pernah menunjukkan cita rasa tinggi. Karena bangunan ini cukup besar, warga sekitar sering menyebutnya dengan 'Pondok yang Gede' yang kemudian disebut dengan Pondok Gede.
10. Lebak Bulus
Google.com/maps
Lebak Bulus merupakan sebuah keluraha n yang berada di di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.
Penamaan Kawasan ini erat dengan kontur tanah dan hewan endemik yang berada di wilayah tersebut. Lebak berarti tanah lembap yang tergenang air. Sedangkan bulus merupakan kura-kura bertempurung lunak sejenis labi-labi.
Kemungkinan besar dulu kali yang mengalir di daerah tersebut memang terdapat banyak bulus atau kura-kura tersebut.
Daerah ini juga banyak ditanami padi, kelapa, kopi, karet, Sereh, dan Jarak. Sementara penduduk banyak yang berprofesi sebagai petani buah, sayur mayur, dan bunga terutama bunga anggrek.
Nah berikut adalah 10 sejarah nama jalan di Jakarta.Semoga informasi tersebut dapat dijadikan pengingat, agar tidak melupakan semua sejarah yang terjadi di ibukota negara kita tersebut.