Belakangan ini maraknya fenomena kekerasan yang dialami anak-anak khususnya kasus kekerasan seksual maupun kekerasan bersifat fisik.
Kejadian yang cukup memprihatinkan bahkan bisa terjadi pada anak-anak baik itu di lingkungan sekolah maupun di lingkungan sekitarnya.
Untuk itu, mitigasi atau pencegahan kekerasan seksual pada anak sangatlah penting. Apalagi saat ini kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat.
Sejak tahun 2014, KOMNAS Perempuan sudah menyatakan bahwa Indonesia ada di dalam darurat kekerasan seksual. Sudah lama juga kekerasan seksual pada anak ini menjadi fokus perhatian pemerintah.
Namun seiring bertambahnya waktu, nyatanya laporan kekerasan seksual pada anak ini semakin meningkat.
KemenPPPA mencatat di tahun 2022 terdapat 9.588 jumlah kasus kekerasan seksual pada anak dan ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2021.
Tentu ini menjadi keprihatinan kita, angka kekerasan seksual meningkat sampai dua kali lipat dalam satu tahun. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa pelaku dan korban usia anak itu ternyata semakin muda.
Kondisi ini menunjukkan jika kekerasan seksual sangat dekat dengan anak-anak, termasuk saat mereka berada di lingkungan orang-orang terdekat dan tersayangnya.
Selain itu, kemudahan mengakses internet melalui perangkat apa pun menjadi salah satu penyebab anak-anak menerima kekerasan seksual.
Biasanya, anak-anak mendapatkan perlakuan tidak baik melalui media sosial, pesan chat, link tautan, web streaming, live video, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, pencegahan dan mengenali kekerasan seksual pada anak sangat perlu Mama dan Papa lakukan sejak si Anak usia dini.
Berikut ini Popmama.com telah merangkum informasi seputar cegah dan kenali kekerasan seksual pada anak menurut IDAI, penting diketahui Mama, Papa, dan Anak untuk menambah wawasan mengenai kekerasan seksual yang ternyata memiliki dampak pada tumbuh kembang anak. Yuk disimak, Ma!
1. Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak
Popmama.com/Reka Ardiyana
Beberapa tahun belakangan ini sering terjadinya laporan kasus kekerasan seksual pada anak yang meningkat tentunya disebabkan adanya beberapa faktor.
Pertama, pendewasaan seksual yang lebih cepat karena pengaruh media atau paparan terhadap pornografi atau pornoaksi.
Kemudian, kurangnya edukasi tentang pendidikan seksual bukan berarti cukup melakukan aktivitas seksualnya, tetapi bagaimana anak dapat menghargai organ-organ privatnya.
Dan kurangnya juga pengawasan dari orangtua, anak-anak semakin bebas untuk mengakses internet dan dengan segala kemudahannya, sehingga semakin rentan untuk terpapar konten negatif.
“Sebuah survei yang dilakukan oleh ECPAT di Indonesia pada masa pandemi terhadap 1203 anak di 13 provinsi, menunjukkan bahwa 3 dari 10 anak mendapatkan pesan tidak senonoh, gambar atau video yang membuat tidak nyaman lainnya yang berbau seksual selama masa pandemi ketika mereka menjalani masa pembelajaran jarak jauh (PJJ),” kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI Dr. Eva Devita Harmoniati, SpA(K) dalam webinar Cegah dan Kenali Kekerasan Seksual pada Anak secara daring, Kamis (9/02/2023).
Ternyata hal tersebut masih berlanjut sampai setelah pandemi saat Indonesia memasuki era endemi.
Di awal masa pandemi masyarakat dikejutkan juga dengan laporan peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak baik itu kekerasan fisik, psikis, maupun seksual.
Peristiwa tersebut kebanyakan dilakukan oleh orang terdekat mereka seperti papa, mama, paman, kakek, tetangga, dan lain sebagainya.
“Dan kekerasan seksual ini menempati 53% dari seluruh kasus yang dilaporkan. Apabila dipikirkan bahwa di masa pandemi saja ketika anak-anak berada di dalam rumah, mereka masih bisa menjadi seorang korban kekerasan. Maka tentu pelakunya adalah orang-orang di dalam rumah baik itu orangtua ataupun anggota lainnya yang tinggal bersama dengan si anak,” tambahnya.
Di masa setelah pandemi justru ketika anak mulai kembali beraktivitas ke luar rumah, maka pelakunya bertambah bisa teman, tetangga, bahkan guru di sekolah ataupun di asrama.
Berdasarkan data SIMFONI KemenPPPA, menunjukkan bahwa peningkatan laporan kasus kekerasan seksual pada anak karena adanya keberanian dari masyarakat untuk melaporkan.
Selain itu, adapun kekerasan yang dialami oleh anak-anak banyak terjadi di sekitar lokasi terdekatnya, ketika dulunya dianggap tempat yang aman bahkan kemudian bisa memicu terjadinya berbagai kekerasan.
“Memprihatinkan sekali bahwa lokasi kejadian itu 53% adalah di lingkungan rumah, sebagian di lingkungan sekolah. Justru di tempat-tempat di mana anak itu seharusnya bisa beraktivitas dengan aman. Dan pelakunya 29% adalah teman atau orang terdekat dari anak dan 21% juga dari orangtua,” ujar Dr. Eva Devita Harmoniati, SpA(K).
2. Anak juga bisa mengalami kejahatan seksual melalui dunia maya
Freepik
Berdasarkan data KPAI tahun 2017-2019 ada 1940 anak korban kejahatan seksual secara online.
Hal ini memicu banyak persoalan yang menyebabkan terjadinya kejahatan di dunia maya terkhusus bagi anak-anak yang mengalami kondisi ini.
“Korban seksual pada anak sekitar 329 anak, namun pelaku kekerasan seksual kurang lebih 300 anak, korban pornografi di media sosial ada sekitar 426 anak, dan pelaku kepemilikan media pornografi juga adalah sekitar 300 anak. Jadi, anak tidak hanya sebagai korban kejahatan seksual terutama di dunia maya, tetapi juga bisa menjadi pelaku,” kata Dr. Eva Devita Harmoniati, SpA(K).
Terkadang para orangtua sering bingung ketika mereka mendapatkan keluhan dari anaknya misalnya seperti anak mereka mendapatkan kiriman foto atau gambar video pornografi, diminta mengirimkan foto atau video dengan pakaian yang minim, mendapatkan kiriman pesan yang sensual.
Pertanyaannya kemudian, jika itu terjadi pada anak-anak, lantas apakah anak tersebut mengalami kekerasan seksual?
"Kalau orangtua mendapat laporan anaknya disentuh bagian dadanya, kemaluannya, bokongnya, diminta atau menyentuh genitalia orang dewasa, dipaksa melakukan hubungan seksual. Anak-anak bisa paham itu adalah kekerasan seksual, tetapi hal-hal lain seperti yang telah disebutkan, anak-anak masih merasa bingung apakah ini termasuk kekerasan seksual," tambahnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman seputar edukasi seksual untuk Mama dan Papa, agar bisa memberikan penjelasan pada anak-anak bahwasannya ada beberapa organ-organ vital yang tidak boleh disentuh oleh orang lain kecuali Mama dan Papanya, maupun dokter yang memeriksanya.
Editors' Pick
3. Apa itu kekerasan seksual dan bagaimana ciri-ciri anak mengalami kejadian ini?
Pexels/RODNAE Productions
Adapun pengertian dari pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan layanan seksual, tindakan verbal atau fisik/gestur yang bersifat seksual yang bisa menyebabkan pelanggaran atau mempermalukan pihak lain.
Menurut Peraturan Kementerian Kesehatan (PMK) No.68 Tahun 2013, kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana anak tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan.
Ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan yang sama yaitu untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.
Bentuk kekerasan tidak hanya kontak fisik tetapi juga bisa kontak non fisik (visual). Artinya, bahwa menyentuh bagian-bagian privasi anak misalnya seperti bagian kemaluan, bokong, dada, atau anak diminta untuk menyentuh bagian privasi dari orang dewasa.
Selain itu ada juga yang sampai diperlihatkan video pornografi atau porno aksi atau anak difoto dalam kondisi pakaian minim itu adalah termasuk bentuk kekerasan seksual pada anak lho, Ma.
Maka, dapat disimpulkan jika kekerasan seksual pada anak bukan hanya pemerkosaan saja. Begitu banyak kekerasan lainnya dari itu dan perlu Mama perhatikan baik-baik. Salah satunya dengan mengenali ciri-ciri anak yang mengalami kekerasan seksual.
Bagaimana mengenali ciri-ciri anak mengalami kekerasan seksual?
Seperti yang kita tahu ya, Ma bahwa tidak semua anak itu bersikap ekspresif atau berani mengungkapkan apa yang sudah dialaminya. Namun seharusnya, Mama dan Papa bisa mengenali tanda-tanda dan gejala awal anak mengalami kekerasan seksual.
Pertama, perubahan perilaku seperti halnya terlihat anak mengalami kecemasan dan ketakutan berlebih, kemudian anak mengalami depresi yang tadinya ceria menjadi pendiam, selain itu takut bertemu dengan orang asing bahkan mungkin menghindar dari pelaku atau menarik diri.
Untuk anak-anak yang usianya sudah remaja terkadang bisa menunjukkan perilaku percobaan bunuh diri, lho. Selain itu, kejadian ini juga bisa memengaruhi performa belajar yang kian menurun, biasanya anak tidak bisa konsentrasi saat proses belajarnya di sekolah.
Bahkan, bisa juga muncul keluhan-keluhan yang tidak jelas dari si anak misalnya seperti menolak untuk pergi sekolah atau ke luar rumah hingga mengeluh sakit perut, sakit kepala dan sebagainya.
Selanjutnya, munculnya gangguan makan dan tidur kepada anak dengan menunjukkan perilaku tidak nafsu makan bahkan tidak mau makan.
Adapun terjadinya bulimia yaitu kondisi di mana anak sudah makan kemudian ia memuntahkan kembali makanan tersebut. Selain itu, anak pun juga mengalami mimpi buruk bahkan sampai sulit untuk tidur di malam hari.
Tak hanya itu, keluhan-keluhan lain dalam kasus buang air besar atau buang air kecil, suka kecipirit (enkopresis), mengeluh nyeri saat buang air kecil atau buang air besar kemudian disertai gatal atau cairan yang keluar dari vagina dan ada juga luka di kemaluan ataupun di anus.
4. Dampak kekerasan seksual pada tumbuh kembang anak
Pexels/RODNAE Productions
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI yang sangat concern dengan kekerasan yang terjadi pada seorang anak. Penelitian menunjukkan anak-anak yang mengalami kekerasan di masa kanaknya, maka mereka akan lebih rentan untuk mengalami gangguan perkembangan.
Baik itu berupa gangguan perkembangan sosial, emosional, kognitif yang kemudian berdampak pada diadopsinya perilaku-perilaku berisiko ketika anak-anak mencapai usia remaja dan juga usia dewasa muda.
Perilaku berisiko ini tidak hanya kepada orang lain tapi biasanya juga perilaku berisiko terhadap kesehatannya sendiri. Sehingga, anak-anak yang menjadi korban kekerasan di masa kecilnya ini mereka lebih berisiko mengalami kematian yang lebih awal dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan di masa kecilnya.
"Buat seorang dokter anak ketika mendapatkan anak mengalami kekerasan yang dipikirkan itu panjang karena dampak kedepannya, pada saat anak itu mengalami kejadian anak juga bisa mengalami permasalahan lainnya," ujar Dr. Eva Devita Harmoniati, SpA(K).
Ada faktor protektif lainnya baik itu dukungan keluarga maupun dukungan teman sebaya yang bisa mengurangi dampak-dampak ini.
Khususnya untuk kekerasan seksual pada anak, maka selain adanya perilaku atau anak mengalami depresi dan bisa menyalahkan dirinya sendiri, lho. Diketahui bahwa biasanya mereka juga mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan dengan orang lain.
Dampak kekerasan pada anak juga bergantung pada usia anak ketika mengalami kekerasan, frekuensi saat anak mengalami kekerasan, dan juga derajat beratnya kekerasan yang dialami.
Selain itu, misalnya hubungan anak dengan pelakunya seperti apa, tidak bisa dibayangkan jika pelakunya orang terdekat dari si Anak misalnya ayahnya, kakaknya, pamannya, atau bahkan gurunya.
Maka, rasa kecemasan dalam diri anak tentunya akan semakin besar dan itu akan memengaruhi kepribadian atau kondisi sosial emosional dari seorang anak, lho.
5. Pencegahan kekerasan seksual pada anak
Freepik/freepik
Pencegahan kekerasan seksual pada anak tentu harus diawali dengan edukasi. Adapun edukasi kepada si Anak tentang menjaga bagian-bagian tubuhnya atau orangtua diedukasi untuk memberikan pendidikan seksual sejak dini.
Dengan mengedukasi anak-anak mengenal anggota-anggota privasi tubuhnya, bagaimana bertindak bila ada orang lain yang melakukan sentuhan/perabaan, meminta memperlihatkan bagian tubuhnya atu meminta anak melihat, menyentuh bagian tubuh orang lain.
"Jadi, anak harus diajarkan bahwa tidak boleh ada sembarang orang mencium bibirnya, atau memegang dadanya, kemaluannya, bokongnya, dan hanya Mamanya yang boleh melihat atau yang membasuh ayahnya dan juga kemudian dokter, selebihnya tidak boleh," ujar Dr. Eva Devita Harmoniati, SpA(K).
Selain itu, orang dewasa disekitar anak-anak pun harus memiliki kepekaan terhadap kekerasan seksual yang mungkin terjadi di lingkungan di sekitarnya, sehingga bisa memberikan perlindungan yang dibutuhkan oleh anak.
6. Terdapat 5 langkah mitigasi online dalam melindungi anak di dunia maya
Freepik/freepik
Kasus kekerasan tidak hanya terjadi di kehidupan sehari-hari melainkan banyak kejahatan seksual terjadi di dunia maya atau secara online, adapun beberapa contoh mitigasi atau pencegahan di dunia maya yang bisa dilakukan oleh Mama dan Papa, berikut di antaranya:
Dengan semakin mudahnya akses anak terhadap internet, orangtua harus menyiapkan pula aturan pemakaian internet yang aman di perangkat eletronik yang ada di rumah baik berupa, laptop, komputer, televisi, smartphone, dan lainnya.
Membuat pengaturan/setting pengawasan orangtua pada semua perangkat yang bisa mengakses internet dengan menginstal seperti age-appropriate filters atau monitoring tools sehingga Mama dan Papa bisa mengawasi kegiatan anak ketika berselancar di dunia maya.
Bangun kepercayaan dan komunikasi antara orangtua dan anak harus menyediakan waktu untuk bersama-sama melihat apa yang dilakukan anak dengan gadget-nya, secara teratur berdialog tentang apa yang dilihat anak ketika ia sedang mengakses internet.
Hindari membagi informasi pribadi, ajarkan pada anak hal-hal apa yang boleh diunggahnya ke dalam media sosial, apa yang boleh dan tidak boleh dibagikan tentang informasi dirinya kepada dunia maya atau media sosial. Dan hindari komunikasi dengan orang yang tak dikenalnya.
Buat kesepakatan aturan penggunaan internet, misalnya anak dibolehkan menggunakan internet dari jam sekian sampai jam sekian di ruang keluarga, sehingga orangtua tetap bisa mengawasi anak. Jadi, ajarkan juga anak-anak untuk bisa bertanggung jawab terhadap apa yang diaksesnya dan mereka harus tahu juga konsekuensinya, bahayanya apa kalau misalnya mengunggah informasi pribadi atau mengunggah foto-foto pribadi atau membalas pesan dari orang asing yang tak dikenalnya.
Nah, itulah Ma beberapa cara mencegah dan mengenali kekerasan seksual pada anak menurut IDAI. Jika anak Mama atau orang sekitar menjadi korban kekerasan seksual, jangan takut untuk melapor ke Kemen PPPA melalui Call Center SAPA 129 atau WA pengaduan 08111-129-129.