Menurut Psikolog, Ini Dampak Psikologis Poligami pada Anak!
Meski kontroversial, ketahui dulu sisi positif dan negatifnya
8 November 2018
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Menurut KBBI, poligami merupakan sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Sedangkan poligami dalam Islam terbatas pada poligini yaitu seorang laki-laki muslim diizinkan menikahi lebih dari satu perempuan.
Meskipun Islam sudah memperbolehkan poligami bagi laki-laki yang mempu menafkahi istri-istrinya secara lahir dan batin dengan adil, namun polligami tetap saja menjadi polemik di masyarakat, khususnya bagi kaum hawa.
Tak hanya menyakiti perempuan, poligami juga dianggap dapat menghancurkan hidup anak-anaknya.
Pasalnya, perhatian seorang Papa yang berpoligami pasti menjadi terbagi dua, yakni kepada istri atau keluarga yang pertama dan istri atau keluarga yang selanjutnya.
Dengan begitu, sudah pasti waktu yang bisa diberikan Papa kepada keluarga dan anak-anaknya menjadi berkurang.
Masuk akal jika dikatakan perhatian Papa kepada anak-anaknya akan berkurang atau paling tidak sangat mungkin anak-anak akan mempersepsikan demikian.
Ketika Papa lebih memilih untuk ke keluarga yang satu lagi, sangat mungkin anak akan mengembangkan pikiran bahwa Papa lebih memilih anak atau keluarga yang disana, Papa kurang berkenan padanya, ia merasa tidak diinginkan lagi oleh Papa, dan lain sebagainya.
Hal ini bisa mengembangkan rasa kurang disayang, kurang dicintai, dan jika terus berkembang kearah negatif, maka hal tersebut dapat berkembang menjadi rasa rendah diri, tidak percaya diri, bahkan bisa sampai sulit mempercayai orang lain.
Meskipun begitu, dibalik semua kontroversinya, poligami ternyata menyimpan makna tersendiri yang dapat dipetik oleh anak-anak kelak ia besar nanti.
Untuk meluruskannya, berikut Popmama.com telah merangkum beberapa fakta dari psikolog Dessy Ilsanty, M. Psi mengenai dampak poligami terhadap psikologis anak-anak.
Editors' Pick
1. Apa dampak positif poligami terhadap tumbuh kembang anak?
Dari semua prasangka-prasangka negatif yang mungkin saja terjadi pada anak yang hidup dalam keluarga poligami, namun ternyata masih ada nilai positif yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup sang Anak.
Menurut Dessy Ilsanty, berikut beberapa dampak positif pada anak:
- Tanggung jawab
Untuk anak laki-laki, poligami dapat menjadi contoh bahwa seorang laki-laki memang diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu.
Namun harus dipastikan ia dapat berlaku adil terhadap keluarga-keluarga yang ia miliki, sama seperti apa yang Papanya lakukan untuk keluarganya dan keluarga lainnya.
- Belajar menyelesaikan masalah
Untuk anak perempuan dan laki-laki, poligami dapat dengan jelas mengajarkan padanya bahwa pertengkaran dalam kehidupan berumah tangga merupakan hal yang wajar.
Meskipun begitu, semua permasalahan nantinya akan selesai melalui komunikasi yang baik seperti apa yang dilakukan oleh orangtua mereka.
- Mengenalkan indahnya berbagi dengan ikhlas
Dampak positif poligami lainnya adalah mengajarkan anak-anak untuk berbagi.
Tak hanya sekedar berbagi makanan atau mainan yang ia sukai, poligami juga dapat mengajarkan mereka untuk ikhlas berbagi kasih sayang dari sang Papa.
2. Kapan dan bagaimana cara menjelaskan poligami pada anak?
Sulit memang menjelaskan kondisi seperti ini kepada anak-anak, apalagi anak mama masih berusia di bawah umur.
Meskipun begitu, sudah seharusnya bagi Mama dan Papa untuk menjelaskan kondisi yang terjadi sebenarnya sejak ia sudah dapat berkomunikasi dan memberikan respon terhadap sesuatu.
Dengan segala keputusan yang sudah dibuat oleh orangtua, tak adil rasanya jika anak tidak dilibatkan untuk mengetahui hal tersebut sejak dini.
Mengenalkannya sejak dini mengenai kondisi keluarga yang berpoligami juga dapat membuatnya lebih mudah untuk menerima kondisi yang ia hadapi.
Justru jika ditutupi, nantinya ia akan kaget bahkan merasa disakiti oleh sosok Papa yang selama ini ia bangga-banggakan.
Poligami adalah hal yang kompleks. Butuh pola pikir yang advance untuk bisa menjalaninya. Sementara itu, anak-anak memiliki kemampuan berpikir yang masih terbatas.
Artinya, dia hanya akan mempersepsikan informasi-informasi dari dunianya secara sederhana saja. Hal ini sangat berpotensi untuk menimbulkan salah persepsi.
Kemampuan berpikir anak-anak itu bisa dikatakan matang setelah dia menginjak usia (kurang lebih) 17 tahun.
Namun sebenarnya, anak-anak sudah mulai bisa diberitahu pada usia berapa pun, sesuai dengan kemampuan berpikirnya.
Cara menyampaikan ke anak usia 5 tahun tentu akan berbeda dengan cara memberitahukan ke anak usia 10 tahun.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa, sejak usia dini, anak itu sudah mampu berpikir, walau terbatas.
Jadi, daripada berusaha menutupi apa yang jelas terlihat oleh anak, lebih baik menjelaskan keadaan sesungguhnya yang sesuai dengan pemahaman anak.