Membicarakan tentang seks semestinya bukan lagi menjadi hal yang tabu dilakukan antara orangtua dan anak. Paparan informasi yang seolah mengepung kehidupan kita sekarang ini, memaksa orangtua lebih proaktif selangkah lebih dulu memberikan edukasi seks pada anak.
Jangan sampai mereka mengetahuinya dari sumber yang tidak tepat, yang malah menjerumuskan anak-anak kita.
Satu hal yang perlu untuk ditanamkan pada anak-anak kita tentang seks, selain fungsi dan kesehatan reproduksi, adalah tentang sexual consent.
Apa itu sexual consent? Sepenting apakah sexual consent diajarkan pada anak?
Berikut Popmama.com mengupas informasi seputar sexual consent untuk pengetahuan anak!
Apakah itu Sexual Consent?
Freepik
Dilansir dari plannedparenthood.org, sexual consent adalah persetujuan kedua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan seksual. Sebelum melakukan hubungan seksual dengan seseorang, keduanya harus sepakat dan dalam keadaan sadar, ingin melakukan hubungan seksual tersebut.
Meminta persetujuan dan menyetujui terjadinya hubungan seksual adalah tentang menetapkan batas pribadi diri sendiri dan menghormati batas pribadi orang lain. Tanpa sexual consent, aktivitas seksual apapun (termasuk seks oral, sentuhan di area genital hingga penetrasi) dapat dikategorikan sebagai tindakan pelecehan dan pemerkosaan.
Untuk anak-anak, mengajarkan sexual consent memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi perkara seks bisa dibilang hal yang cukup kompleks untuk dijelaskan pada anak usia Sekolah Dasar. Mama bisa memulainya dari 5 hal dasar ini, dilansir dari healthline.com:
1. Mengajarkan kosakata yang benar
childrensnational.org
Banyak orangtua yang masih menganggap kata 'penis' dan 'vagina' terlalu vulgar dan tidak sopan dikatakan anak, kemudian menggantinya dengan kata-kata yang lebih halus dan tersamar. Padahal, dengan mengajarkan kosakata yang benar tentang organ-organ reproduksi ini dapat memberikan persepsi yang positif tentang seks pada anak. Anak pun tidak merasa malu membicarakan soal tubuh mereka pada orangtua.
Selain itu, dengan kosakata yang benar, orangtua dan orang dewasa lainnya dapat mengetahui dengan jelas apa yang dimaksudkan sang Anak jika anak melaporkan kejadian terkait pelecehan atau pemerkosaan padanya.
Editors' Pick
2. Mengajarkan tentang otonomi tubuh
Freepik
Anak usia SD harus sudah bisa mengerti tentang otonomi tubuhnya. Mereka berhak menolak jika merasa tak nyaman dengan pelukan, ciuman, dekapan atau pun gelitikan yang dilakukan orang lain padanya. Mereka pun tidak seharusnya dipaksa untuk mencium dan memeluk siapapun, tanpa persetujuannya, sekalipun itu anggota keluarga terdekat.
Orangtua pun harus menghormati, ketika anak mengatakan "berhenti" atau "tidak" saat digelitiki, itu artinya memang harus berhenti. Jika hal kecil ini bisa diterapkan dan dicontohkan pada anak, nantinya ia akan bisa menerapkannya dengan tegas pada orang asing. Sebagai langkah awal, Mama bisa mengajarkan pada anak untuk bertanya terlebih dahulu kepada orang lain, apakah mereka mau dipeluk atau tidak.
3. Bicarakan tentang masalah consent ini pada anggota keluarga yang lain
Freepik
Bagian penting dari mengajarkan anak tentang otonomi tubuh dan consent adalah mengajarkannya pula pada keluarga dan kerabat tentang batasannya. Jelaskan pada keluarga dan kerabat untuk tidak memaksa atau melontarkan kata-kata yang negatif bila anak tidak mau dipeluk dan dicium.
Tidak sekadar menolak ciuman dan pelukan, anak bisa diajari untuk menawarkan alternatif lain jika ia tidak mau terjadi interaksi fisik yang intim. Misalnya dengan menawarkan bersalaman atau high five.
4. Menerapkan batasan
Freepik/Freeograph
Semakin anak bertambah besar, Mama bisa menjelaskan bahwa orang-orang tertentu bisa mendapatkan akses yang berbeda tentang otonomi tubuhnya. Misalnya, tidak masalah jika Mama memeluknya, tetapi tidak dengan orang asing. Atau, hanya dokter atau Mama dan Papa, yang boleh memegang bagian tubuh tertentu saat diperiksa, di bawah pengawasan orangtua, tetapi tidak dengan paman atau bibi.
5. Merespon dengan cara bijak
Freepik/Jcomp
Di usia-usia ini, pemikiran kritis anak mulai berkembang. Tak menutup kemungkinan mereka punya rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap seksualitas yang seringkali membuat orangtua terkejut. Alih-alih mengalihkan pembicaraan atau menyuruh mereka berhenti bertanya, justru ini menjadi momen yang tepat memberikan edukasi yang tepat pada mereka. Ketahuilah, Ma, anak-anak kita mungkin terlihat masih kecil, tetapi sesungguhnya mereka sudah cukup memahami apa yang terjadi.
Berikan penjelasan sesuai dengan usianya, tak perlu terlalu mendetil asalkan mereka mendapatkan jawaban yang diinginkan. Akhiri dengan, "Nanti kalau kamu sudah besar, Mama akan jelaskan lagi supaya kamu lebih mengerti." Jangan takut pula meminta waktu untuk mencari jawaban yang tepat, misalnya dengan mengatakan, "Wah, Mama terkejut kamu menanyakan ini. Bagaimana kalau besok kita obrolkan tentang hal ini setelah makan malam?"
Pastikan pula memberikan ruang untuk berdiskusi pada anak dan akhiri pembicaraan dengan pernyataan yang suportif, misalnya, "Makasih ya, Kakak sudah mau bertanya tentang hal ini ke Mama." Buatlah situasi di mana orangtua dapat menjadi sahabat dan tidak membuat anak enggan bertanya yang mengakibatkan ia mencari jawaban atas pertanyaannya ke sumber yang salah.
Menjadi tugas penting bagi orangtua untuk menerjemahkan, menjelaskan, menyanggah dan menyampaikan pesan-pesan sexual consent ini sebagai bekal dasar anak akan keterbukaan soal edukasi seksual. Hal ini penting demi menjaga anak kita dari kekerasan seksual yang mungkin saja dialaminya di dunia luar.