Modernisasi yang ditelurkan oleh budaya Barat hingga kini masih merupakan suatu hal yang menakjubkan terlebih pada masa kolonial Belanda dimana terdapat kesenjangan sebagaimana bumi dan langit antara bangsa pribumi (bumiputra) dengan bangsa Barat (Belanda). Modernisasai Barat yang dikembangkan oleh Belanda dalam politik etisnya melalui jalur pendidikan ini telah mengakari adanya permasalahan kebudayaan yang kompleks. Sebagian pribumi yang termasuk dalam golongan atas diantara bangsanya dapat menerima asupan modernitas ini dengan hangat, sebagian menolak bahkan memeranginya, dan sebagian lagi ambivalen karena terjebak diantara keputusan apakah mereka akan menerima atau menolaknya.
Tidak dapat dipungkiri lagi, persoalan masuk dan menguatnya kebudayaan Barat yang difasilitasi oleh pendidikan pada akhirnya seringkali menjadi bagian yang sangat problematik dalam konsistensi nasionalisme pengkajinya. Seringkali pendidikan diangggap sebagai penghasil kaum terdidik yang asing di tengah masyarakatnya, dan masyarakat yang asing dengan kaum terdidiknya. Hal inilah yang dialami oleh tokoh utama dalam novel ini.
Hanafi adalah laki-laki berdarah asli Minangkabau yang sejak berumur lima tahun telah menjadi anak piatu. Oleh ibunya Ia disekolahkan hingga menjadi lelaki pribumi terdidik lulusan HBS, semua itu juga tidak terlepas dari bantuan mamaknya di kampung. Oleh karena ibunya yang berada dalam kecukupan maka Hanafi tinggal dalam asuhan keluarga Belanda selama ia menjalankan perndidikannya. Karena sedari kecil ia diasuh dalam didikan budaya Barat maka mengalirlah dalam wataknya perangai kesombongan seorang yang merasa dekat dengan Bangsa yang dianggap tinggi itu hingga ia merasa jijik dengan kaumnya sendiri terkecuali ibunya, satu-satunya orang bumiputra yang ia anggap layak bersamanya.
Persilisihan dan ketersisihan yang terjadi antara Hanafi dengan istri pilihannya hatinya sendiri yakni corrie membuatnya menjadi ambivalen, terlebih setelah corrie meninggal. Sebenarnya ambivalensi Hanafi secara eksplisit sudah terlihat sebelum ia menjalani perkawinan campurnya dengan Corrie yang merupakan keturunan peranakan Belanda-Pribumi, yakni ketika Hanafi merasa jengkel atas penghinaan Corrie terhadap orang Melayu.
“Tapi yang sangat dipentingkannya pula di dalam surat itu ialah suatu fasal. Meskipun disusun dengan perkataan yang sopan, adalah Corrie menghinakan orang Melayu di dalam surat itu. Ia sendiri memang tidak memandang tinggi akan derajat bangsanya, tapi, setelah Corrie pula yang berbuat demikian , naiklah darahnya”. (h. 60)
Hanafi menganggap rendah bangsanya sendiri bahkan ia mengaku menyesal dilahirkan sebagai bangsa pribumi, akan tetapi mengapa setelah Corrie yang menghinakan bangsanya, ia menjadi marah? Hal ini tidak lain adalah karena kesadarnnya akan darah pribumi yang mengalir dalam darahnya.
Kemudian secara implisit, sikap ambivalen Hanafi terlihat ketika ia menikahi Rafiah. Meskipun ia tidak mencintai Rafiah, calon istri yang dipilihkan oleh ibunya, Hanafi tetap menikahi Rafiah. Meskipun ia menganggap pernikahannya itu hanyalah tuntutan dari kebudayaan Minang yang dianggapnya sangat matrealistis. Sikap Hanafi sendiri kepada ibunya sangat tidak konsisten. Di satu sisi ia sangat menyayangi ibu yang telah melahirkannya, namun di sisi lain ia membenci kebodohan dan kepribumian ibunya, sehingga ia selalu bersikap dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati sang Ibu.
Modernisasi yang ditelurkan oleh budaya Barat hingga kini masih merupakan suatu hal yang menakjubkan terlebih pada masa kolonial Belanda dimana terdapat kesenjangan sebagaimana bumi dan langit antara bangsa pribumi (bumiputra) dengan bangsa Barat (Belanda). Modernisasai Barat yang dikembangkan oleh Belanda dalam politik etisnya melalui jalur pendidikan ini telah mengakari adanya permasalahan kebudayaan yang kompleks. Sebagian pribumi yang termasuk dalam golongan atas diantara bangsanya dapat menerima asupan modernitas ini dengan hangat, sebagian menolak bahkan memeranginya, dan sebagian lagi ambivalen karena terjebak diantara keputusan apakah mereka akan menerima atau menolaknya.
Tidak dapat dipungkiri lagi, persoalan masuk dan menguatnya kebudayaan Barat yang difasilitasi oleh pendidikan pada akhirnya seringkali menjadi bagian yang sangat problematik dalam konsistensi nasionalisme pengkajinya. Seringkali pendidikan diangggap sebagai penghasil kaum terdidik yang asing di tengah masyarakatnya, dan masyarakat yang asing dengan kaum terdidiknya. Hal inilah yang dialami oleh tokoh utama dalam novel ini.
Hanafi adalah laki-laki berdarah asli Minangkabau yang sejak berumur lima tahun telah menjadi anak piatu. Oleh ibunya Ia disekolahkan hingga menjadi lelaki pribumi terdidik lulusan HBS, semua itu juga tidak terlepas dari bantuan mamaknya di kampung. Oleh karena ibunya yang berada dalam kecukupan maka Hanafi tinggal dalam asuhan keluarga Belanda selama ia menjalankan perndidikannya. Karena sedari kecil ia diasuh dalam didikan budaya Barat maka mengalirlah dalam wataknya perangai kesombongan seorang yang merasa dekat dengan Bangsa yang dianggap tinggi itu hingga ia merasa jijik dengan kaumnya sendiri terkecuali ibunya, satu-satunya orang bumiputra yang ia anggap layak bersamanya.
Persilisihan dan ketersisihan yang terjadi antara Hanafi dengan istri pilihannya hatinya sendiri yakni corrie membuatnya menjadi ambivalen, terlebih setelah corrie meninggal. Sebenarnya ambivalensi Hanafi secara eksplisit sudah terlihat sebelum ia menjalani perkawinan campurnya dengan Corrie yang merupakan keturunan peranakan Belanda-Pribumi, yakni ketika Hanafi merasa jengkel atas penghinaan Corrie terhadap orang Melayu.
“Tapi yang sangat dipentingkannya pula di dalam surat itu ialah suatu fasal. Meskipun disusun dengan perkataan yang sopan, adalah Corrie menghinakan orang Melayu di dalam surat itu. Ia sendiri memang tidak memandang tinggi akan derajat bangsanya, tapi, setelah Corrie pula yang berbuat demikian , naiklah darahnya”. (h. 60)
Hanafi menganggap rendah bangsanya sendiri bahkan ia mengaku menyesal dilahirkan sebagai bangsa pribumi, akan tetapi mengapa setelah Corrie yang menghinakan bangsanya, ia menjadi marah? Hal ini tidak lain adalah karena kesadarnnya akan darah pribumi yang mengalir dalam darahnya.
Kemudian secara implisit, sikap ambivalen Hanafi terlihat ketika ia menikahi Rafiah. Meskipun ia tidak mencintai Rafiah, calon istri yang dipilihkan oleh ibunya, Hanafi tetap menikahi Rafiah. Meskipun ia menganggap pernikahannya itu hanyalah tuntutan dari kebudayaan Minang yang dianggapnya sangat matrealistis. Sikap Hanafi sendiri kepada ibunya sangat tidak konsisten. Di satu sisi ia sangat menyayangi ibu yang telah melahirkannya, namun di sisi lain ia membenci kebodohan dan kepribumian ibunya, sehingga ia selalu bersikap dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati sang Ibu.
Penting buat orang tua untuk memilih pola asuh yang baik dan sesuai ya ma
Benar ma, kita bisa mengambil insight dari buku² fiksi
Benar ma, kita bisa mengambil insight dari buku² fiksi
Setuju sekali, mama eka pasti suka membaca ya ?
Penting buat orang tua untuk memilih pola asuh yang baik dan sesuai ya ma