Analisis Puisi "Hanyut Aku" karya Amir Hamzah

Dalam puisi “Hanyut Aku” ini nampak bahwa si Aku tengah tenggelam dalam pencarian spiritualnya, ia seakan hanyut oleh derasnya gairah akan cinta kasih dan pencerahan dari sang kekasih. Namun, Ia hanya sendiri tiada yang dapat menolongnya dari dahaga akan kasih dan bisikan sang kekasih. Oleh karena itu ia (si Aku) meminta pertolongan pada kekasihnya, berharap kekasihnya akan iba dan peduli padanya. Akan tetapi sang kekasih hanya diam sehingga si Aku menjadi putus asa, seakan-akan ia akan mati.

       Seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang lain, misalnya “Padamu Jua”, “Hanya Satu”, “Karena Kekasih”, sajak “Hanyut Aku” ini merupakan dialog antara si Aku dengan kekasihnya, yaitu Tuhan. Secara semiotik, hubungan si Aku dengan kekasihnya ini memang terlihat seperti hubungan antara laki-laki dan perempuan pada umumnya. Apalagi, banyak sedikitnya “rindu” dan “kesunyian” Amir Hamzah dalam sajaknya, secara psokologis dikaitkan orang juga kelahirannya dengan perkembangan hubungannya dengan Ilik Sundari[1]. Rasa hampa hidup karena kehilangan Ilik Sundari, orang yang sangat Ia kasihi selama menetap di  Batavia (Jakarta sekarang) membuatnya seolah-olah kehilangan gairah hidupnya sendiri terlebih hal ini merupakan kedua kalinya Amir mengalami kagagalan dalam hal percintaan setelah sebelumnya di Binjai ia harus patah hati lantaran Aja Bun gadis pujaannya yang merupakan anak angkat orang tua Amir Hamzah menikah dengan Tengku Husein Ibrahim, saudara Amir Hamzah sendiri.

       Namun, merujuk pada kekasih yang diperkenalkan Amir Hamzah pada sajaknya “Padamu Jua”, kekasih disini adalah Tuhan yang diantromorphkan seperti manusia, sang kekasih: …/ Satu kekasihku/ Aku manusia/ Rindu rasa/ Rindu rupa/ Dimana engkau/ Rupa tiada/ Suara sayup/ Hanya kata merangkai hati/…. Kekasih si Aku dalam sajak “Padamu Jua” adalah kekasih ghaib yang tak dapat diindera, diraba, dirindukan rupanya, hanya kata merangkai hati (jika kekasih yang ghaib ini perumpamaan wujud Tuhan, maka, “kata yang merangkai hati” itu adalah nama Tuhan ataupun kata-kata dalam kitab suci)[2]. Lalu hal ini dipertegas dengan menggambarkan kekasihnya yang pelik, membuat penasaran dan menimbulkan keinginan untuk dapat selalu dekat: / Engkau pelik menarik ingin/ Serupa dara dibalik tirai, larik ini menegaskan bahwa kekasihnya itu hanya serupa dara, yang berarti bukan dara dalam arti sesungguhnya.

       Selain itu, Amir Hamzah memandang hubungan laki-laki dengan wanita pada umumnya hanyalah sementara, hanya sepanjang lagu, bertukar pandang, bercintaan setelah itu selesai. Semua itu tergantung Tuhan sebagai dalang yang mengatur jalan cerita kehidupan seseorang. Konsep ini dituangkan Amir Hamzah dalam sajaknya, “Sebab Dikau”:

Aku boneka engkau boneka

Penghibur dalang mengatur tembang

Di layar kembang bertukar pandang

Hanya selagu, sepanjang dendang

Golek gemilang ditukarnya pula

Aku engkau di kotak terletak

Aku boneka engkau boneka

Penyenang dalang mengarak sajak

 

       Dengan demikian, hubungan dengan sesama manusia hanyalah sekedar menjalankan lakon dari Tuhan, jika hubungan itu harus berakhir pun tidak akan membuat si Aku mati karena semua adalah rencana Tuhan. Maka dapat dikatakan sajak-sajak dalam Nyanyi Sunyi termasuk sajak “Hanyut Aku” ini merupakan refleksi dari problema hidup yang ia hadapi, dimana didalamnya ia berusaha mencari nilai dan bentuk percintaan yang kekal dalam percobaan-percobaanya berdialog dengan Tuhan.

       Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam puisi “Hanyut Aku” ini, kekasih yang dimaksud adalah kekasih ghaib (Tuhan), hal ini diperjelas dengan gambaran akan ketergantungan si Aku pada pertolongan sang kekasih dan dahaganya akan cinta kasih pujaanya tersebut begitu dahsyat sehinggga diamnya sang kekasih membuatnya seperti akan mati, tenggelam dalam gairah yang tak tersampaikan. Hal ini jelas sangat berlainan dengan konsep hubungan laki-laki dan wanita yang digambarkan oleh Amir Hamzah dalam puisinya “Sebab Dikau”.

       Rupanya dalam kehanyutan pengembaraan spiritualnya, Amir Hamzah selalu merasa sendiri, tiada yang dapat menolong dan menenangkan hatinya selain Tuhan itu sendiri: Ulurkan tanganmu, tolong aku/ Sunyinya sekelilingku!/ Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati/ tiada air menolak ngelak. Kesendirian yang dirasakan Amir Hamzah adalah sangat wajar karena dalam riwayat hidupnya, ia harus berpisah dengan orang-orang yang ia kasihi termasuk dengan keluarganya. Sebelum menamatkan pendidikan menengahnya di Medan, ia harus bertolak ke Batavia (Jakarta) dan disinilah ia menamatkan sekolah menengah pertamanya tahun 1929. Kemudian Amir Hamzah pindah ke Solo untuk menempuh pendidikan menengah atasnya. Perpisahan dengan keluarga terutama sang Bunda inilah yang membuat Amir Hamzah selalu merasa terasing, kesepian dan tak putus dirundung rindu.

       Dalam kesendirinnya itu, Amir Hamzah menggali potensi spiritualnya, menjadikan Tuhan sebagai tempat batinnya mengadu dan berteduh dari segala problema hidup. Namun, pencariannya akan Tuhan ini pun tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Kesendirian dalam pengembaraan spiritualnya bahkan membuat Amir Hamzah hampir putus asa, karena ia merasa segala apa yang dimintanya tidak diberikan oleh Tuhan dan apa yang dipertanyakannya tidak dijawab oleh Tuhan dan tiada seorangpun yang dapat menunjukkan jalan keluar dari pencarian-pencariannya akan tuhan, seperti tergambar dalam sajaknya “Insyaf”: