Asal Mula Suara Burung Tekukur
Konon, Tekukur termasuk burung yang berperilaku boros. Setiap hari pekerjaannya hanya terbang ke sana, kemari, sekehendak hatinya. Ia juga termasuk burung yang tidak memikirkan masa depannya. Jika punya makanan, banyak ataupun sedikit langsung dihabiskan pada saat itu juga. Ia tidak pernah berpikir untuk menyimpan sedikit pun makanan tersebut. Di dalam sarangnya tak tertinggal makanan apa pun.
Berbeda dengan Tekukur, Betet adalah burung yang sangat memikirkan masa depannya. Jika punya makanan, ia sisihkan sebagian. Di dalam sarangnya banyak tersimpan makanan, seperti jagung, padi, dan petai.
Pada suatu waktu datanglah musim paceklik. Untuk menghadapi musim itu, Betet dan keluarganya tenang-tenang saja. Sementara itu, Tekukur merasa sangat kesusahan. Mereka terbang ke timur tak ada makanan Begitu pula saat mereka terbang ke barat tak mendapatkan apa pun. Kedua Tekukur, suami istri itu masih memiliki harapan, lalu terbang ke utara, tapi ternyata hanya kegersangan yang mereka temui. Mereka terbang lagi ke selatan, sama saja, tak menemukan apa pun. Mereka hanya mendapatkan kekecewaan dan kelelahan.
“Kamu sih boros,” kata suaminya.
“Kamu sendiri? Jangan ingin menang sendiri!” istrinya menjawab ketus. Setiap hari suami istri Tekukur itu bertengkar. Tidak ada keceriaan di wajah mereka.
Puter, saudara Tekukur, datang berkunjung. Ketika melihat kesusahan saudaranya, Puter merasa kasihan. Ia berusaha membantu saudaranya, mencari jalan keluar.
“Saudaraku, coba kamu minta tolong kepada Betet. Pinjamlah padi. Nanti dibayar kembali waktu musim panen.” Saran Puter kepada Tekukur.
“Terima kasih, Puter. Aku dan istriku akan mencoba meminta pertolongan Betet. Mudah- mudahan ia punya rasa kasihan,”
Siang itu udara sangat panas. Suami istri Tekukur lemas karena sudah beberapa hari tidak makan. Terpaksa mereka harus mengepakkan sayapnya. Padahal, sarang Betet cukup jauh.
“Betet yang baik, keluargaku mohon kebaikanmu. Kami minta pertolongan.”
“Hem, … aku tak punya apa-apa.”
“Padiku tinggal sedikit.” “Tolonglah.”
“Ya, ... boleh. Namun, ada syaratnya,” “Apa syaratnya?”
“Bawa satu anakmu ke sini. Aku perlu untuk menemani anak-anakku dan merapikan rumahku selagi aku pergi.”
“Anakku sakit semua.”
“Kalian perlu padi atau tidak?” “Ya, sangat perlu, tetapi................................ ”
“Terserah.”
Tekukur kembali ke sarangnya. Suami istri Tekukur itu berunding, dengan berat hati mereka memilih anaknya yang sulung untuk dijadikan teman anak-anak Betet.
Pada saat Tekukur menerima lima untai padi, air mata mereka mengucur deras. Mereka sebenarnya tidak tega anaknya menjadi
Beberapa hari keluarga Tekukur itu dapat bertahan hidup. Sehari mereka sekeluarga memakan satu untai padi. Pada hari keenam padi pinjaman dari keluarga Betet sudah habis. Mereka kembali bermasalah dan hanya bisa merenungi nasibnya.
Suami istri Tekukur sangat sedih dan teringat akan penukaran padi yang tidak seimbang. Mereka teringat anaknya yang tinggal di rumah keluarga Betet. Mereka teringat pula pada musim panen yang telah berlalu. Masa panen pun datangnya masih lama lagi. Suami istri Tekukur itu menyesal seumur hidup. Mereka menyesal tidak meniru kebiasaan keluarga Betet untuk menyimpan sebagian makanannya.
“Siut ... jeprot!” dari atas ada yang mematuk dan mencakar kepala pasangan Tekukur itu. Kedua Tekukur pun spontan terbang.
“Aduh, Alap-Alap. Kenapa kamu ini? Tidak ada masalah di antara kita,” kata Tekukur sambil terus terbang. Namun, Alap-Alap terus mengejarnya dan berusaha mematuknya.
“Eh, Tekukur! Tidak punya rasa kasih sayang sama anak! Anak sendiri kalian tukar hanya dengan beberapa untai padi. Dasar burung tak tahu diri! Teganya kalian menukar anak. Aku benci kalian! Benci!” teriak Alap- Alap.
“Apa hubungannya denganmu? Tak ada, bukan?” jawab Tekukur.
“Memang tak ada. Namun, aku peduli akan kasih sayang. Mengapa sebagai orang tua kamu tidak punya kasih sayang? Mengapa tidak belajar mengumpulkan makanan?” kata Alap- Alap sambil terus terbang.
“Aku sendiri sedang susah, Alap-Alap.
Mengapa kamu menambah kesusahan kami?”
Sepasang Tekukur itu tak tahan lagi mendengar omelan burung Alap-Alap. Mereka terbang diam-diam tanpa tujuan yang jelas. Air mata mereka deras mengucur. Sambil menangis, Tekukur betina mengeluarkan kata- kata penyesalannya, “Kaduhung, kaduhung, kaduhung3!
Tekukur jantan menyambut perkataan istrinya, “Kaduhung, kaduhung, kaduhung, aduh, aduh!”
Sementara itu, manusia mendengar bunyi Tekukur betina “kaduhung” menjadi “tekukur”, sedangkan bunyi Tekukur jantan “kaduhung, aduh, aduh” menjadi “tekukur, guk, guk”.
“Aku mau pinjam padi untuk makan anakku yang sedang sakit.”
Asal Mula Suara Burung Tekukur
Konon, Tekukur termasuk burung yang berperilaku boros. Setiap hari pekerjaannya hanya terbang ke sana, kemari, sekehendak hatinya. Ia juga termasuk burung yang tidak memikirkan masa depannya. Jika punya makanan, banyak ataupun sedikit langsung dihabiskan pada saat itu juga. Ia tidak pernah berpikir untuk menyimpan sedikit pun makanan tersebut. Di dalam sarangnya tak tertinggal makanan apa pun.
Berbeda dengan Tekukur, Betet adalah burung yang sangat memikirkan masa depannya. Jika punya makanan, ia sisihkan sebagian. Di dalam sarangnya banyak tersimpan makanan, seperti jagung, padi, dan petai.
Pada suatu waktu datanglah musim paceklik. Untuk menghadapi musim itu, Betet dan keluarganya tenang-tenang saja. Sementara itu, Tekukur merasa sangat kesusahan. Mereka terbang ke timur tak ada makanan Begitu pula saat mereka terbang ke barat tak mendapatkan apa pun. Kedua Tekukur, suami istri itu masih memiliki harapan, lalu terbang ke utara, tapi ternyata hanya kegersangan yang mereka temui. Mereka terbang lagi ke selatan, sama saja, tak menemukan apa pun. Mereka hanya mendapatkan kekecewaan dan kelelahan.
“Kamu sih boros,” kata suaminya.
“Kamu sendiri? Jangan ingin menang sendiri!” istrinya menjawab ketus. Setiap hari suami istri Tekukur itu bertengkar. Tidak ada keceriaan di wajah mereka.
Puter, saudara Tekukur, datang berkunjung. Ketika melihat kesusahan saudaranya, Puter merasa kasihan. Ia berusaha membantu saudaranya, mencari jalan keluar.
“Saudaraku, coba kamu minta tolong kepada Betet. Pinjamlah padi. Nanti dibayar kembali waktu musim panen.” Saran Puter kepada Tekukur.
“Terima kasih, Puter. Aku dan istriku akan mencoba meminta pertolongan Betet. Mudah- mudahan ia punya rasa kasihan,”
Siang itu udara sangat panas. Suami istri Tekukur lemas karena sudah beberapa hari tidak makan. Terpaksa mereka harus mengepakkan sayapnya. Padahal, sarang Betet cukup jauh.
“Betet yang baik, keluargaku mohon kebaikanmu. Kami minta pertolongan.”
“Hem, … aku tak punya apa-apa.”
“Padiku tinggal sedikit.” “Tolonglah.”
“Ya, ... boleh. Namun, ada syaratnya,” “Apa syaratnya?”
“Bawa satu anakmu ke sini. Aku perlu untuk menemani anak-anakku dan merapikan rumahku selagi aku pergi.”
“Anakku sakit semua.”
“Kalian perlu padi atau tidak?” “Ya, sangat perlu, tetapi................................ ”
“Terserah.”
Tekukur kembali ke sarangnya. Suami istri Tekukur itu berunding, dengan berat hati mereka memilih anaknya yang sulung untuk dijadikan teman anak-anak Betet.
Pada saat Tekukur menerima lima untai padi, air mata mereka mengucur deras. Mereka sebenarnya tidak tega anaknya menjadi
Beberapa hari keluarga Tekukur itu dapat bertahan hidup. Sehari mereka sekeluarga memakan satu untai padi. Pada hari keenam padi pinjaman dari keluarga Betet sudah habis. Mereka kembali bermasalah dan hanya bisa merenungi nasibnya.
Suami istri Tekukur sangat sedih dan teringat akan penukaran padi yang tidak seimbang. Mereka teringat anaknya yang tinggal di rumah keluarga Betet. Mereka teringat pula pada musim panen yang telah berlalu. Masa panen pun datangnya masih lama lagi. Suami istri Tekukur itu menyesal seumur hidup. Mereka menyesal tidak meniru kebiasaan keluarga Betet untuk menyimpan sebagian makanannya.
“Siut ... jeprot!” dari atas ada yang mematuk dan mencakar kepala pasangan Tekukur itu. Kedua Tekukur pun spontan terbang.
“Aduh, Alap-Alap. Kenapa kamu ini? Tidak ada masalah di antara kita,” kata Tekukur sambil terus terbang. Namun, Alap-Alap terus mengejarnya dan berusaha mematuknya.
“Eh, Tekukur! Tidak punya rasa kasih sayang sama anak! Anak sendiri kalian tukar hanya dengan beberapa untai padi. Dasar burung tak tahu diri! Teganya kalian menukar anak. Aku benci kalian! Benci!” teriak Alap- Alap.
“Apa hubungannya denganmu? Tak ada, bukan?” jawab Tekukur.
“Memang tak ada. Namun, aku peduli akan kasih sayang. Mengapa sebagai orang tua kamu tidak punya kasih sayang? Mengapa tidak belajar mengumpulkan makanan?” kata Alap- Alap sambil terus terbang.
“Aku sendiri sedang susah, Alap-Alap.
Mengapa kamu menambah kesusahan kami?”
Sepasang Tekukur itu tak tahan lagi mendengar omelan burung Alap-Alap. Mereka terbang diam-diam tanpa tujuan yang jelas. Air mata mereka deras mengucur. Sambil menangis, Tekukur betina mengeluarkan kata- kata penyesalannya, “Kaduhung, kaduhung, kaduhung3!
Tekukur jantan menyambut perkataan istrinya, “Kaduhung, kaduhung, kaduhung, aduh, aduh!”
Sementara itu, manusia mendengar bunyi Tekukur betina “kaduhung” menjadi “tekukur”, sedangkan bunyi Tekukur jantan “kaduhung, aduh, aduh” menjadi “tekukur, guk, guk”.
“Aku mau pinjam padi untuk makan anakku yang sedang sakit.”
Seru sekali mendongengkan cerita ini sebelum tidur