Buku berjudul Ibuk, merupakan novel karya Iwan Setyawan yang masuk ke dalam jajaran buku National Best Seller. Novel ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga yang ditopang oleh sosok “Ibuk”. Perjalanan Ayah, Ibuk, beserta 5 orang anaknya (Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira) mewarnai cerita novel ini. Dimulai dari pertemuan Ayah dan Ibuk hingga perjuangan membesarkan kelima anak mereka.
Cerita diakhiri oleh kesuksesan semua anak mereka, terutama si anak laki-laki: Bayek. Jika diteliti lebih lanjut, Iwan menyisipkan bentuk-bentuk permasalahan sosial dalam karyanya ini. Masalah sosial merupakan ketidaksesuaian antara harapan dan realita yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat dua permasalahan yang dituangkan oleh Iwan dalam novel ini, yaitu masalah pendidikan dan kemiskinan. Dalam tulisannya, Iwan ingin memberikan sebuah gambaran bagaimana pendidikan dan kemiskinan dapat diubah dengan sebuah keyakinan dan kemauan.
Pertama, Iwan mengangkat masalah pendidikan. Sosok Ayah dan Ibuk bukanlaorang yang berpendidikan. Ayah hanya lulusan SMP yang menjadi kenek angkot, sedangkan Ibuk tidak menamati SD karena masalah ekonomi. Namun, keinginan kuat dari Ibuk yang ingin menyekolahkan kelima anaknya hingga jenjang pendidikan tertinggi digambarkan dengan jelas. Ibuk meyakini pendidikan sangatlah penting untuk masa depan anak-anaknya.
“... Dalam genggamannya, Ibuk tak akan membiarkan anaknya tidak berpendidikan seperti dia. Cukup dia saja yang tidak lulus SD, tekad Ibuk.”
Iwan menggambarkan kesulitan masing-masing anak dalam bersekolah. Buku-buku bekas, sepatu usang dan rusak, hingga tagihan sekolah yang menunggak. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat mereka untuk menimba ilmu. Adalah Bayek yang disorot menjadi anak paling sukses: lulus kuliah di IPB dan bekerja di kota New York, Amerika Serikat. Disini, Iwan memerinci permasalahan pendidikan anak-anak yang kurang berkecukupan. Bagaimana mengejar ilmu ditengah kekurangan dan keterbatasan. Bagaimana kedua orang tua mencari uang dan pinjaman kesana-kesini demi keperluan sekolah. Namun, Iwan mampu memberikan gambaran solusi, yaitu semangat dan kerja keras akan membawa masyarakat kurang mampu keluar dari permasalahan sosial ini.
Kedua, masalah sosial mengenai kemiskinan. Ayah dan Ibuk lahir dari latar belakang perekonomian keluarga yang kurang baik. Awalnya Ayah hanya menjadi kenek angkot, beberapa tahun kemudian ia membeli dan mengemudikan angkot sendiri, sedangkan Ibuk sebagai penjual baju di pasar yang berhenti setelah menikah. Iwan menggambarkan kerasnya kehidupan bagi masyarakat kelas bawah. Pinjam-meminjam, hutang, pegadaian, tanggungan, dan cicilan menjadi makanan sehari-hari bagi penduduk miskin. Ayah menjadi tulang punggung yang sangat diharapkan, namun terkadang terjadi masalah seperti angkot rusak atau kebutuhan sedang pasak. Ibuk harus menopang dan menyiasati masalah keuangan dengan baik.
“Lulus SD, Isa dengan mudah masuk ke sekolah menengah pertama paling bagus di Batu. Ibuk menjual cincin emas satu-satunya untuk membayar SPP di bulan pertama.”
Ada hasrat dari anak-anaknya untuk hidup lebih baik dari kondisi mereka sekarang. Di mulai dari Isa yang merelakan kuliah dengan memilih bekerja, membuka peluang bagi adik-adiknya bersekolah. Nani dan Bayek mendapat kesempatan mengenyam bangku kuliah. Begitu pula Rini dan Mira yang menyelesaikan sekolah hingga menjadi wisudawan. Semua ini demi perekonomian yang lebih baik. Bayek, tokoh yang digambarkan Iwan sebagai anak yang sukses. Bekerja di perusahaan besar di New York dengan posisi tinggi dan gaji yang ‘wah’ mengisyaratkan tidak pernah ada kata mustahil untuk menaikan derajat diri. Tidak terlahir dari keluarga berada tidak menutup jalan menjadi sukses.
Setelah berhasil melunasi semua hutang, membangun rumah bagi orang tua, dan memenuhi semua kebutuhan, Bayek merasa cukup. Ia berhenti bekerja di New York dan kembali ke kampung halamannya. Begitulah seorang Bayek menikmati hidup, dekat dengan Ibuk, dekat dengan keluarganya. Iwan mematahkan permasalahan sosial yakin kemiskinan.
Status seseorang dapat berubah jika memiliki kemauan. Masalah pendidikan dan kemiskinan sangat erat kaitannya. Dalam novel ini, kemiskinan memengaruhi proses pembelajaran. Kesulitan bagi anak-anak Ibuk untuk bersekolah karena keterbatasan biaya. Namun, ini tidak menyurutkan semangat orang tua untuk mendidik anak-anak. Poin inilah yang menjadi titik awal keberhasilan keluarga Bayek.Dengan menempuh pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang layak, kemiskinan dapat teratasi. Namun, jika terjerat dengan kesulitan pendidikan, maka kemiskinan struktural akan terus terjadi.
Jadi, Iwan Setyawan secara tidak langsung membahas permasalahan sosial yang nyata dan terjadi dalam masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah dikarenakan kesulitan akses, fasilitas, ekonomi, atau kemauan individu adalah hal-hal yang disorot. Selain itu, kemiskinan yang masih terjadi. Buku ini memberikan pandangan bahwa hal ini bukan menjadi masalah namun justru sebuah awal perjuangan. Iwan ingin meyakinkan setiap anak yang memiliki latar hidup yang sama untuk mampu berjuang melawan kerasnya dunia.