Difteri tentu sudah tidak asing lagi didengar ya, Ma? Dilansir dari Kids Health, anak-anak di bawah 5 dan orang dewasa di atas 60 tahun sangat berisiko tertular difteri. Apalagi bila lingkungan di rumah kurang bersih hingga anak-anak yang mengalami kurang gizi.
Pada tahun 2016, World Health Organization (WHO) melaporkan bahawa ada 7.097 kasus difteri di seluruh dunia. Bahkan pada tahun 2011-2016, Indonesia menyumbang 3.353 kasus difteri dan 110 di antaranya meninggal dunia.
WHO juga mengatakan bahwa hampir 90% yang terinfeksi, banyak yang tidak memiliki riwayat imunisasi difteri secara lengkap.
Jika Mama ingin mengetahui informasi lebih banyak mengenai difteri, kali Popmama.com sudah merangkumnya.
1. Apa itu difteri?
Unsplash/Aditya Romansa
Difteri adalah infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh bakteri corynebacterium diphtheriae, sehingga dapat menyerang selaput lendir dan hidung dan tenggorokan. Tak jarang difteri juga bisa memengaruhi kulit. Penyakit yang satu ini menghasilkan racun yang berbahaya, apalagi difteri menular dan termasuk infeksi serius karena dapat menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung dan sistem saraf, bahkan berpotensi mengancam jiwa.
Jika diperhatikan, penyakit difteri banyak ditemui di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kondisi ini dikarenakan angka vaksinasi masih sangat rendah. Sebagai orangtua, Mama perlu mendiskusikan ke dokter terhadap masalah difteri yang terjadi pada si Kecil.
Penyakit yang satu ini dapat dicegah melalui program imunisasi wajib pemerintah Indonesia termasuk imunisasi difteri. Difteri perlu diwaspadai karena dapat ditularkan melalui beberapa cara yang biasanya tidak disadari, seperti:
Sentuhan secara langsung dengan luka kulit seperti borok dari penderita difteri.
Terkontaminasi oleh bakteri melalui mainan, handuk atau sejumlah barang-barang pribadi.
Percikan ludah dari bersin atau batuk penderita difteri tidak sengaja terhirup melalui udara. Penularan seperti ini paling umum terjadi.
Secara umum, penularan difteri akan lebih cepat terjadi jika lingkungan di sekitarnya tidak bersih.
Bakteri difteri akan menghasilkan racun, sehingga membunuh sel-sel sehat yang ada di dalam tenggorokan. Kondisi inilah yang membuat sel-sel sehat berubah menjadi sel mati dan membentuk membran atau lapisan tipis abu-abu pada tenggorokan.
Racun yang dihasilkan dapat berpotensi dalam menyebar ke dalam aliran darah, sehingga dapat merusak bagian jantung, ginjal dan sistem saraf.
Layaknya penyakit lain, difteri memiliki gejala saat sudah menyerang imunitas tubuh. Penyakit difteri secara umum memiliki rentang waktu terlebih dahulu sejak bakteri corynebacterium diphtheriae masuk ke dalam tubuh. Gejala difteri ini bisa muncul 2 hingga 5 hari setelah bakteri sudah berada di tubuh.
Gejala-gejala dari penyakit difteri, meliputi:
Demam dan tubuh menggigil.
Suara berubah menjadi serak.
Mudah merasa lelah dan lemas.
Timbulnya radang tenggorokan dan suara serak.
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe pada kelendar leher.
Menyerang saluran pernapasan, sehingga mengalami masalah sesak napas.
Munculnya selaput tebal berwarna putih atau keabu-abuan pada tenggorokan.
Selain itu, ada tanda lain yaitu kulit menjadi pucat dan berkeringat, gangguan penglihatan serta jantung berdebar. Jika ada beberapa gejala yang terjadi pada si Kecil perlu diwaspadai ya, Ma!
4. Komplikasi dan pencegahan terhadap penyakit difteri
Pixabay/dfuhlert
Jika si Kecil positif terkena difteri, Mama perlu memberikan pertolongan yang tepat. Segeralah untuk membawanya ke dokter untuk melihat berbagai gejala-gejala difteri yang terjadi pada anak mama.
Saat mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat, tentu dapat menghentikan bakteri corynebacterium diphtheriae untuk berkembang sehingga dapat menyebabkan otak kekurangan oksigen dan fungsi jantung terganggu.
Bila pengobatan difteri tidak cepat, ada beberapa komplikasi serius yang dapat terjadi khususnya pada anak-anak. Toksin pada bakteri difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa, seperti masalah pernapasan, kerusakan jantung, kerusakan saraf, terkena difteri hipertoksik yang dapat memicu terjadinya pendarahan dan gagal ginjal.
Sebagai orangtua, Mama perlu melakukan langkah pencegahan paling efektif melalui vaksin. Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DTP yang meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau batuk rejan.
Pemberian vaksin DTP perlu dilakukan 5 kali yaitu saat si Kecil berusia 2 bulan, 4 bulan, usia satu setengah tahun dan lima tahun. Jika anak mama sudah berusia 10 tahun perlu diberikan booster dengan vaksin sejenis seperti vaksin Tdap atau Td.
Saat anak mama positif tertular penyakit difteri, biasanya dokter akan segera menangani secara medis dan memulai pengobatan. Umumnya sebelum ada hasil dari laboratorium, dokter juga akan melakukan 2 jenis obat yaitu menggunakan antibiotik dan antitoksin.
Antibiotik berperan untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi. Dosis antibiotik yang akan digunakan tergantung pada tingkat gejala difteri yang terlihat pada si Kecil.
Berbeda dengan antibiotik, pemberian antitoksin pada anak-anak dapat berguna sebagai cara menetralisasi toksin atau racun difteri yang telah menyebar dalam tubuh.
Namun, Mama perlu memastikan dan memeriksakan ke dokter apakah si Kecil memiliki alergi terhadap obat tersebut atau tidak.
Apabila nantinya ada reaksi alergi, dokter perlu memberikan antioksidan dengan dosis lebih rendah.
Itulah beberapa pengetahuan baru mengenai difteri yang perlu Mama ketahui. Semoga anak-anak dan keluarga terus sehat ya, Ma!