Cerita Sedih Orangtua yang Anaknya Meninggal di Masa Pandemi Covid-19
Kesulitan biaya hingga ditolak oleh rumah sakit, anak yang sakit tak bisa segera diobati
4 Juli 2020
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Penyebaran virus corona, berjenis Covid-19 menyebabkan sekitar 3.000 korban jiwa. Selain menyerang orang dewasa, Covid-19 juga menyerang anak-anak.
Menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang diakses pada 3 Juli 2020, lebih dari 40 anak Indonesia yang berusia 18 tahun meninggal akibat virus corona, yang sebagian besarnya adalah balita.
Angka tersebut setara dengan 1,7 persen total kematian akibat Covid-19, yang menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, menjadi persentase tertinggi di Asia dan dunia.
Tiga orangtua di Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat menceritakan ketika anak mereka harus menjadi korban akibat Covid-19.
Berikut Popmama.com telah merangkum cerita orangtua dari anak yang meninggal akibat terpapar virus corona
1. Di Manado, seorang anak 2 tahun yang muntaber dan sakit paru-paru kesulitan biaya untuk dirawat di rumah sakit
Di Manado, Sulawesi Utara, seorang anak yang hampir menginjak usia 2 tahun, memiliki bobot hanya 6 kilogram, setengah dari bobot ideal yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, WHO.
Awal tahun 2020, ia dirawat di rumah sakit akibat muntaber dan sakit paru-paru. Menurut sang Papa, hal itu dipengaruhi oleh kondisi kurang gizi.
Sayangnya baru 3 hari di rawat, orangtuanya terpaksa meminta agar anak dapat dirawat di rumah saja karena tak ada biaya.
"Baru tiga hari rawat, sudah kita minta keluar karena nggak ada dana. Dokter mau tahan, kita bilang nggak ada biaya ... belum tuntas dia berobat," ujar sang Papa.
Pada awal Mei, kondisinya kian memburuk.
Anak mengalami batuk-batuk, menurut sang Papa, membawanya ke rumah sakit bukan pilihan saat itu.
2. Pada bulan Mei, anak tersebut meninggal setelah sang Papa yang sempat mengalami firasat buruk
Hal tersebut dilakukan karena sang Papa yang bekerja sebagai buruh bangunan yang tak memiliki uang yang cukup, bahkan kurangnya biaya untuk makan sehari-hari. Sehingga memilih untuk merawat anak di rumah.
Namun, kondisi anak yang tak juga membaik. Ia dan istrinya memutuskan membawa anak mereka ke klinik terdekat. Namun karena kondisinya yang kritis, anaknya dirujuk ke RSUP Prof Kandou Malalayang. Kemudian Anak dirawat selama sembilan hari di ruang isolasi. Kemudian, pada tanggal 16 Mei sang Papa menceritakan firasat buruknya
"Kami bermimpi dia meninggal. Kami datang ke rumah sakit, kami peluk, cium. Kami panggil nama Tuhan Yesus... Menangis adik dalam mimpi," cerita sang Papa.
Keesokannya, mimpi buruk menjadi kenyataan, petugas kesehatan mengatakan bahwa sang Anak positif Covid-19
"Adik so nyanda ada, rasa-rasa tape kaki, dari tape jiwa rasa-rasa mo malayang (bayi kami sudah tiada, rasa-rasanya kaki dan jiwa mau melayang)." Ujarnya.
3. Di Mataram, bayi bernama Fahri yang mengalami diare hebat selama dua hari
Selanjutnya, di Mataram, Nusa Tenggara Barat, seorang bayi bernama Fahri berusia 9 bulan mengalami diare hebat tanpa henti selama dua hari, pada pertengahan bulan Mei lalu.
"Tiap jam dia buang air terus dan dia demam," ujar Papa dari Fahri, Iyansyah.
Saat itu, keluarga mencoba menangani Fahri dengan memberikan obat dari apotek, namun kondisinya tak juga membaik. Sehingga Fahri dibawa ke rumah sakit swasta terdekat, sang Papa mengatakan kesadaran anaknya yang sudah menurun.
Namun, rumah sakit itu tak dilengkapi fasilitas gawat darurat untuk anak, sehingga Fahri dirujuk ke rumah sakit lain.
4. Fahri ditolak masuk ke rumah sakit dengan alasan tidak tersedia tempat walaupun sudah membayar deposit
Namun, Fahri ditolak masuk ke rumah sakit dengan alasan tempat sudah penuh, walaupun pihak keluarga sudah membayar deposit. Sehingga, Fahri terpaksa dirawat layaknya pasien umum. Iyansyah menceritakan ketika dirinya ingat saat Fahri menjelang ajalnya.
"Dia sudah nggak ada tenaga, lemas. Pantatnya sudah merah-merah, lecet karena diare. Dia kesulitan bernapas, saya lihat karena saya di sampingnya. Dia dibantu oksigen," ujar Iyansyah.
Ia pun mengatakan bahwa seharusnya Fahri dibawa ke Pedriatic Intensive Care Unit pada saat itu. Namun tanggal 23 Mei, Fahri meninggal dunia, Empat hari kemudian, hasil tes menunjukkan Fahri meninggal akibat Covid-19.
"Saya drop. Stres saya. Makan nggak enak, nggak ada nafsu makan. Nggak menyangka dia akan secepat itu meninggalkan kami. Terus divonis Covid. Saya sampai hari ini masih kepikiran," kata sang Papa.
Ia pun juga menyesalkan fasilitas rumah sakit rujukan yang saat itu tak menerima Fahri.
Editors' Pick
5. Di Kabupaten Solok, sepasang sumi istri yang bekerja sebagai petani kehilangan anak akibat Covid-19
Kemudian, di Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sepasang suami istri yang bekerja sebagai petani, kehilangan anak mereka yang menurut pihak rumah sakit disebabkan oleh Covid-19.
MS, anak terakhir dari enam bersaudara itu, baru berusia 8 tahun. Sang Papa, mengatakan bahwa MS telah sakit ginjal sejak bulan Januari 2020.
Hingga kini, sang Papa masih ragu jika anaknya terkena Covid-19, meski Dinas Kesehatan Sumatera Barat menyatakan bahwa anak perempuannya terkena Covid-19 dan menunjukkan gejala penyakit itu.
Dinas Kesehatan mengaku telah melakukan pengetesan tiga kali pada MS. Dua tes pertama hasilnya negatif, namun pada tes yang terakhir menunjukkan positif Covid-19.
"Keluarga hanya menyerahkan pada Tuhan. Kalau diperpanjang akan tambah repot," ujar sang Papa.
6. Angka kematian anak di Indonesia termasuk tertinggi di dunia
Selain lebih dari 40 anak yang meninggal akibat Covid-19, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat lebih dari 200 kematian anak berada dalam status Pasien Dalam Pengawasan pada akhir Juni.
Selain lebih dari 40 anak yang meninggal dengan status positif Covid-19, IDAI mencatat lebih dari 200 kematian anak dalam status Pasien Dalam Pengawasan (PDP) di akhir Juni. Ketua Umum IDAI, Dokter Aman Bhakti mengatakan keadaan ini yang “sangat mengkhawatirkan”
Namun, Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan jika angka kematian anak Indonesia termasuk tertinggi di dunia jika dilihat dari angka absolut jumlah balita di Indonesia yang besar.
"Jika akan dibandingkan dengan negara lain, idealnya menggunakan parameter yang tepat, misalnya dalam ratio per 1.000 balita atau persentase terhadap total kematian akibat Covid," ujar tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Brian Sriprahastuti.
Ia pun mengatakan bagi pemerintah, bahwa satu kematian tetap jadi masalah yang harus diatasi, apalagi kematian itu seharusnya dapat dicegah sesuai perkembangan bidang kedokteran.
7. Kematian anak di Indonesia yang disebabkan faktor-faktor kompleks, seperti gizi buruk dan pneumonia tinggi
Dokter Aman Bhakti mengatakan kematian anak di Indonesia disebabkan faktor yang kompleks. Salah satunya adalah komorbiditas di Indonesia yang berbeda.
"Kesehatan anak kita tidak baik. Ada gizi buruk, pneumonia tinggi, diare, anemia, demam berdarah," ujar Aman.
Berdasarkan paparannya dengan anggota DPR akhir Juni, Dokter Aman menjelaskan penyebab kematian nomor satu dan dua pada anak-anak Indonesia adalah pneumonia dan diare.
Ia menjabarkan prevalansi stunting di Indonesia yang berkisar di angka 30 persen, juga kurang gizi dan malnutrisi parah sebesar 18 persen berdasarkan data di tahun 2018.
"Kombinasi dua ini, ketika kelompok anak terinfeksi Covid, tentu daya tubuh mereka kurang baik. Jika lebih parah, kalau terlambat tentu akan meninggal," ujarnya.
8. Faktor lainnya keterlambatan dalam pelayanan, dokter tak dapat kesempatan untuk merawat anak positif Covid-19
Faktor lain yang disebutkan Dokter Aman adalah keterlambatan dalam pelayanan. Dari data IDAI, sejumlah dokter tak dapat kesempatan cukup untuk merawat anak yang positif Covid-19.
"Ada yang tidak sampai 24 jam, tidak sampai 48 jam, tidak sampai 72 jam. Jadi ada keterlambatan mereka dirujuk," katanya.
Selain itu, ia menyebutkan pengaruh ketidaksamarataan pelayanan di berbagai daerah yang memicu kematian anak dengan Covid-19.
Dalam waktu dekat, pemerintah perlu menggencarkan penelusuran atau tracing kasus dan pengetesan pada anak.
"Pakai PCR, jangan pakai rapid tests. Tidak sempat kita menolong anak dengan rapid tests," ujar Dokter Aman.
Ia pun menambahkan jika setiap kasus kematian anak juga perlu dianalisis, karena ia mengestimasi masa pandemi Covid-19 masih akan berlangsung dalam waktu cukup lama.
9. Pemerintah mengatakan protokol kesehatan perlu diterapkan agar anak tidak tertular Covid-19.
Deputi Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar menyarankan orangtua perlu disiplin untuk menerapkan protokol kesehatan karena dalam sejumlah kasus, anak ditulari virus corona oleh orangtua sendiri.
"Orangtua harus patuh dan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Dia kerja keluar, ikuti protokol. Ketika di rumah, tetap perhatikan protokol juga," ujar Nahar.
Sementara, tenaga Ahli Utama KSP Brian Sriprahastuti mengatakan pentingnya meningkatkan daya tahan tubuh anak.
"Termasuk di dalamnya memastikan setiap anak pada usia satu tahun sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap, termasuk imunisasi campak, dan memastikan balita terpenuhi kebutuhan gizi makro dan mikronya," ujar Brian.
10. Pentingnya ASI eksklusif hingga bayi 6 bulan serta pengawasan bagi anak balita yang berolahraga di luar
Ia pun menambahkan pentingnya ASI ekslusif hingga bayi enam bulan, serta bagi anak balita perlu dibiasakan bermain dalam pengawasan, seperti saat olahraga di luar ruangan.
Dalam jangka panjang, Brian mengatakan pemerintah akan fokus memperbaiki gizi anak.Menurutnya, Hingga tahun 2024 pemerintah memiliki target menurunkan stunting hingga mencapai 14%.
Brian mengatakan pemerintah juga akan memperluas jangkauan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan primer dan rujukan, termasuk di daerah yang sulit diakses.
Baca juga:
- 5 Sikap Orangtua yang Dilarang, Membuat Anak Tak Percaya Diri
- 5 Cara Membuat Anak Bisa Tidur Sendiri Tanpa Rewel dan Menangis
- Normalkah Anak Sering Jatuh saat Belajar Jalan?