4 Kewajiban Seorang Papa pada Anaknya dalam Ajaran Agama Islam
Jangan sampai mengabaikannya ya, Pa
12 Maret 2024
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Dilansir dari laman NU online, menjelaskan bahwa seorang Papa memiliki tiga kewajiban pada anak, yakni memberi nama yang bagus, mendidik, dan menikahkan.
Selain itu, ada tanggung jawab lain dan kewajiban yang harus dilakukan Papa pada anak dalam ajaran Islam. Apa saja itu?
Berikut Popmama.com akan menjelaskan 4 kewajiban seorang Papa pada anaknya dalam ajaran agama Islam.
1. Memberikan nama yang baik
Kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh Papa kepada anaknya adalah memberikan nama yang baik.
Hal ini karena nama merupakan sebuah doa yang akan terus mengalir sejak anak dilahirkan hingga akhir hayat mereka.
Editors' Pick
2. Memberikan nafkah
Dalam pasangan suami istri yang sudah bercerai, seorang Papa juga tetap menerima tanggung jawab dan kewajiban untuk menafkahi anak. Nafkah tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan anak secara umum, mulai dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lain yang bersifat pokok.
Menafkahi anak sejatinya merupakan tanggung jawab yang dibebankan syara' berdasarkan nilai kasih dan sayang kepada Papa.
Hal ini sebagaimana disampaikan dalam Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 33 yang berbunyi, "Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut." (QS. Al-Baqarah: 33)
Hanya saja, dikutip dari NU online, tanggung jawab dan kewajiban menafkahi anak dapat berhenti saat anak sudah beranjak balig dan telah mampu bekerja.
Tidak hanya itu, saat anak belum balig pun sistem nafkah bisa berhenti jika anak telah menerima warisan dan memiliki simpanan uang yang cukup untuk biaya hidupnya.
Pernyataan tersebut sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:
"Anak kecil yang kaya atau orang balig yang fakir tidak wajib (bagi orangtua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya."
"Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika dia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian dia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja." (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)