Mendidik anak merupakan perjalanan panjang yang penuh perhatian dan dedikasi. Tanpa Mama sadari, dalam proses pengasuhan, seringkali terdapat kesalahan-kesalahan kecil yang dapat memiliki dampak besar pada perkembangan anak-anak.
Khususnya dalam mendidik anak laki-laki, Mama mungkin terlewatkan pada stereotip yang memengaruhi pola asuh.
Mulai dari ketidakbiasaan membagi pekerjaan rumah hingga tekanan untuk selalu kuat dan tidak menangis. Mari telusuri bersama di Popmama.commengenaisejumlah kesalahan yang tidak disadari dalam mendidik anak laki-laki, memahami implikasinya, dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan positif mereka.
Dengan begitu, Mama dapat membimbing mereka menjadi pribadi yang kuat, bertanggung jawab, dan penuh empati.
1. Melarang anak menangis dan selalu harus kuat
Freepik
Penulis dan guru, Fiona Forman, yang memiliki gelar MSc di psikologi positif terapan, menyoroti bagaimana pola pengasuhan yang membatasi ekspresi perasaan pada anak laki-laki dapat memengaruhi perkembangan emosional mereka.
Menurut Forman, melarang anak laki-laki menangis dapat membuat mereka menekan, menghindari, atau menutupi emosi tersebut, sehingga dapat berdampak negatif pada kemampuan mereka mengelola emosi.
Hal ini bisa berdampak pada kesehatan mental dan kemampuan mereka membentuk hubungan yang dekat, terbuka, dan jujur sebagai orang dewasa nantinya.
Forman menjelaskan, "Langkah pertama dalam pengembangan emosi yang sehat melibatkan anak perempuan dan laki-laki belajar menerima bahwa semua emosi, termasuk yang dianggap 'negatif' seperti kesedihan, kekecewaan, frustrasi, kekhawatiran, dan kemarahan adalah hal yang normal dan tidak perlu dihindari, ditekan, atau ditakuti.
Dalam pengasuhan, orangtua cenderung membedakan anak laki-laki dan perempuan, namun perlu diingat bahwa masa kanak-kanak adalah waktu penting bagi pertumbuhan emosional mereka."
Orangtua memang harus mengajarkan anak-anak untuk tangguh, namun, menurut Forman, ada kesalahpahaman umum bahwa tangguh berarti kuat atau tidak terpengaruh oleh perasaan kuat yang sebenarnya adalah respons yang tidak sehat.
Orangtua perlu mengajarkan anak-anak, terlepas itu laki-laki atau perempuan bahwa tangguh berarti mampu merasakan dan mengekspresikan perasaan, serta memiliki kekuatan batin untuk mengatasi semuanya.
Editors' Pick
2. Tidak memberikan contoh cara memperlakukan perempuan dengan baik
Freepik/Racool_studio
Dr. Justin Coulson, seorang penulis dan ayah 6 anak, menyampaikan keprihatinannya terhadap sikap tidak hormat dan seksisme yang sering terang-terangan ditunjukkan oleh anak laki-laki terhadap anak perempuan.
"Tidak semua laki-laki seperti itu, saya tahu itu. Tapi jumlahnya terlalu banyak. Cerita-cerita yang saya dengar di feed Facebook saya, dalam percakapan dengan anak perempuan saya di sekolah, dan dalam banyak konteks lainnya.
Jelas sekali bahwa laki-laki merasa diberi wewenang untuk bersiul, membuat komentar seksual yang tidak diminta, menguntit, meraba-raba, dan banyak lagi. Jalan kita sebagai orangtua masih panjang untuk bisa mengajari anak-anak kita untuk cukup menghormati," jelasnya.
Dalam pandangannya, penting bagi orangtua untuk mengajarkan nilai-nilai hormat kepada anak laki-laki sejak dini.
Coulson menyoroti risiko pola asuh yang kurang tepat, di mana ketiadaan teladan positif dapat mendorong anak laki-laki meniru perilaku kurang hormat terhadap perempuan.
Baginya, konsistensi dalam menunjukkan sikap menghormati dan perlakuan setara kepada perempuan dalam kehidupan sehari-hari merupakan kunci penting.
Dalam mengatasi masalah ini, Coulson mendorong orangtua untuk berbicara secara terbuka, menjelaskan pentingnya sikap hormat, dan mendorong perilaku baik pada anak-anak.
Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat mencegah kesalahan pola asuh dan membimbing anak laki-laki untuk tumbuh menjadi pria yang dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
3. Tidak mengajarkan cara meminta izin dan menghormati orang lain
Freepik/pressfoto
Dilansir dari EuroKids, pentingnya mengajarkan prinsip consent atau meminta izin sejak usia dini memiliki relevansi khusus dalam pengasuhan anak, terutama karena adanya kecenderungan beberapa anak laki-laki merasa dominan dan cenderung meremehkan pentingnya meminta izin atau menghormati orang lain.
Salah satu kesalahan dalam mendidik anak adalah ketidaktahuan orangtua dalam memahami bahwa hal sederhana seperti meminta izin adalah tanda penghormatan terhadap hak pribadi orang lain dan merupakan prinsip dasar dalam menjalin hubungan interpersonal yang sehat, sehingga sangat penting untuk dikenalkan pada anak sedini mungkin.
Pendekatan ini harus dimulai dengan menggunakan bahasa dan situasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Mengenalkan konsep consent dapat diwujudkan melalui kegiatan sederhana, seperti saat berbagi mainan dengan teman.
Proses ini perlu terus berkembang seiring dengan pertumbuhan anak, dengan memperkenalkan topik yang lebih kompleks dan mendalam tentang pentingnya menghormati pilihan orang lain.
Modeling perilaku yang diinginkan juga menjadi kunci dalam pendekatan ini. Orangtua harus menunjukkan secara aktif bagaimana meminta izin dan menghormati batas pribadi, termasuk dalam interaksi online, di mana pentingnya menghormati privasi orang lain juga harus diterapkan.
Dalam konteks anak laki-laki yang mungkin cenderung merasa dominan, penting untuk menegaskan bahwa prinsip consent tidak mengurangi nilai atau kekuatan, melainkan membangun dasar untuk hubungan yang saling menghormati.
Dengan pendekatan ini, anak laki-laki dapat memahami bahwa meminta izin dan menghormati orang lain adalah tindakan bijaksana yang menunjukkan kedewasaan dan kepekaan terhadap kebutuhan dan hak individu lainnya.
4. Membiarkan anak terlalu bebas
Freepik
Profesor sastra dan direktur Studi Perempuan dan Gender di Universitas Kutztown di Pennsylvania, Colleen Clemens, menyatakan, "Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pandangan bahwa 'boys will be boys' atau 'laki-laki tetaplah laki-laki', sebuah ungkapan yang sering digunakan untuk membenarkan semua perilaku yang dilakukan oleh anak laki-laki."
"Saya pernah berada di taman bermain bersama putri kecil saya. Seorang anak laki-laki, orang asing, menjatuhkannya, meninggalkan anak saya menangis di pasir. Sang ibu mengatakan kepada saya, 'boys will be boys' dan tidak meminta putranya untuk meminta maaf kepada anak saya.
Dengan kejadian ini dan pengalaman sebagai seorang guru selama 20 tahun, saya menyadari bahwa menggunakan ungkapan tersebut memiliki dampak negatif terhadap pembentukan identitas anak laki-laki."
Clemens menyoroti bahwa pendekatan orangtua yang membiarkan, membebaskan, dan menormalisasikan anak-anak mereka dengan dalih ungkapan ini dapat menjadi suatu bentuk kesalahan dalam mendidik.
Memberikan kebebasan adalah hal yang baik, tetapi harus diimbangi dengan pembelajaran moral dan etika. Normalisasi perilaku semaunya bisa menghasilkan generasi yang kurang menyadari dampak tindakan mereka terhadap orang lain.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memberikan arahan yang kuat terkait nilai-nilai positif, seperti rasa hormat, empati, dan tanggung jawab.
5. Tidak membiasakan anak terlibat dalam pekerjaan rumah
Freepik
Salah satu aspek penting yang sering terabaikan dalam pola asuh anak laki-laki secara umum adalah melibatkan anak laki-laki dalam pekerjaan rumah.
Banyak orang tua, tanpa disadari, masih mempertahankan stereotip bahwa tugas rumah adalah tanggung jawab khusus anak perempuan. Namun, sebuah kesalahan dalam pola asuh anak laki-laki adalah ketidaklibatan mereka dalam pekerjaan rumah.
Sorotan survei majalah “The State of the Kid” menemukan bahwa anak perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan rumah dibandingkan bermain, sedangkan anak laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain dibandingkan melakukan pekerjaan rumah.
Dalam era di mana peran gender semakin dinamis, orangtua perlu menyadari pentingnya mengajarkan anak laki-laki untuk terlibat dalam tugas rumah.
Salah satu alasan utama adalah untuk memecah stereotip gender yang masih melekat di masyarakat. Memberikan anak laki-laki tanggung jawab dalam pekerjaan rumah membantu menciptakan pandangan yang seimbang mengenai peran gender.
Hal ini mendidik mereka bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama, bukan semata-mata urusan perempuan.
Selain itu, keterlibatan dalam pekerjaan rumah dapat memberikan manfaat di bidang pendidikan. Para ahli menyarankan bahwa anak laki-laki yang terlibat dalam pekerjaan rumah mengembangkan etos kerja yang dapat membantu mereka tumbuh dan berkembang di sekolah.
Tanggung jawab yang diajarkan melalui pekerjaan rumah dapat menciptakan kebiasaan belajar yang positif.
Nah, dengan memahami dan mengatasi kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak laki-laki, Mama dapat membimbing mereka menuju pertumbuhan positif. Semoga upaya kecil ini membawa dampak besar bagi perkembangan anak-anak, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat dan mendukung.