Kaleidoskop 2019: 3 Kasus Kematian Balita Terbesar Akibat Penyakit

Awas! Ketiga penyakit ini diketahui merenggut banyak nyawa balita di Indonesia

15 Desember 2019

Kaleidoskop 2019 3 Kasus Kematian Balita Terbesar Akibat Penyakit
Pexels/Pixabay

Saat ini, virus dan bakteri semakin mengganas dan penyebarannya pun semakin cepat.

Mirisnya lagi, hal tersebut dapat dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum, di mana banyak anak-anak disekitarnya.

Halte bus, stasiun kereta api, toilet umum, dan area publik lainnya termasuk beberapa tempat yang menyimpan begitu banyak virus dan bakteri berbahaya.

Mungkin, orang dewasa yang memiliki sistem imun yang lebih kuat, sehingga tidak mudah untuk tertular virus yang berada disekitarnya.

Namun hal tersebut tidak berlaku pada anak-anak, mereka cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah dan belum terbentuk dengan baik.

Sakit ringan hingga kematian bisa saja terjadi pada anak jika penyebaran virus dan bakteri tersebut tidak dapat dihentikan atau setidaknya dicegah.

Nah, berbicara mengenai hal tersebut, berikut Popmama.com telah merangkum beberapa informasi penting mengenai 3 kasus kematian balita terbanyak akibat penyakit di tahun 2019. 

Editors' Pick

1. Pneumonia pada balita

1. Pneumonia balita
cforcat.com

Hingga kini, sebanyak 81 persen penyakit pneumonia atau yang biasa disebut radang paru menyebabkan kematian pada bayi.

Pneumonia adalah kondisi di mana seseorang mengalami infeksi yang terjadi pada kantung-kantung udara dalam paru-paru yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, ataupun jamur.

Tingginya penyakit pneumonia ini masih menjadi momok yang menakutkan di Indonesia, pasalnya sering kali gejala pneumonia terlihat tidak berbahaya.

Padahal, pneumonia menjadi salah satu pembunuh terbesar bayi dibawah usia 2 tahun dengan angka kematian 19.000 kasus.

Artinya, ada lebih dari dua anak meninggal setiap jam akibat pneumonia. Bakteri penyebab pneumonia yang paling sering adalah pneumokokus (Streptococcus pneumonia) dan Hib (Hemophilus influenza tipe B).

Sementara itu, virus penyebab pneumonia umumnya adalah respiratory syncytial virus (RSV), selain virus influenza, rhinovirus, dan virus campak (morbili) yang dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumonia.

Gejala yang ditimbulkan ternyata tidak terlalu terlihat berbahaya, yakni demam, batuk, pilek, dan nafas terasa berat.

Masa inkubasi penyakit ini terbilang cukup cepat, jika kondisi badan drop atau tidak fit, infeksi akan menyerang berbagai organ lainnya.

Oleh sebab itu, pneumonia banyak menyebabkan kematian pada bayi dan balita, karena invansi bakteri atau virusnya yang cepat dan kemampuan komunikasi anak yang belum berkembang.

Penyakit pneumonia ini sangat mudah menjangkiti siapa saja, tetapi karena kemampuan tubuh bayi belum sempurna dalam membentuk sistem imun dan antibodi.

Pneumonia sendiri ditularkan melalui udara dan cairan hidung yang dikeluarkan dari batuk, bersin, pilek dan bahkan bercakap-cakap.

Mengetahui mudahnya pneumonia ini ditularkan, maka Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun merekomendasikan vaksin pneumonia untuk anak-anak.

Vaksinansi atau imunisasi menjadi hal terpenting nomer 2 yang mampu mengendalikan penyakit pneumonia ini.

Namun, yang menjadi faktor pertama pencegahan pneumonia adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif.

Selain pemberian ASI eksklusif, orangtua juga harus sadar pentingnya imunisasi dasar lengkap dan memberikan vaksinasi PVC (pneumococal vaccine) yang khusus memberikan antibodi untuk membasmi pneumonia.

Saat ini, vaksin PCV belum ditanggung oleh pemerintah, padahal Indonesia menduduki peringkat ke 8 dengan kematian balita dibawah 5 tahun dan 17 persennya dikarenakan oleh pneumonia.

2. Campak dan Rubella pada anak

2. Campak Rubella anak
sciencenewsforstudents.org

Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa sebanyak 24 provinsi di Indonesia menjadi wilayah yang berisiko terhadap penularan penyakit campak.

Untuk menurunkan mata rantai penularan penyakit campak dan rubella, pemerintah pun melanjutkan kembali kampanye vaksin MR di tahun 2019 ini.

Secara keseluruhan, pemerintah memetakan daerah-daerah yang berisiko tinggi menularkan penyakit campak, sampai dengan yang bebas dari ancaman penyakit menular tersebut.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, dr Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan bahwa ada beberapa provinsi yang dikhawatirkan jumlah kasus penyakit rubella atau campaknya masih besar.

Oleh karena itu, program kampanye imunisasi MR atau imunisasi dasar wajib harus terus dilanjutkan.

"Berdasarkan penilaian penularan penyakit campak yang telah dilakukan di beberapa daerah ada 24 provinsi yang berisiko tinggi dan satu provinsi yang bebas penyakit," ungkap Anung kepada media di Kantor Kementerian Kesehatan RI, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Anung menambahkan, untuk mengurangi risiko kejadian luar biasa (KLB) campak maupun rubella, harus dilakukan penutupan gap imunitas, terutama di wilayah-wilayah yang berisiko tinggi.

Salah satunya dengan Mop Up, ORI atau respon imunisasi dalam rangka mengendalikan KLB.

Setiap daerah juga harus melakukan penguatan imunisasi MR sesuai dosis yang dianjurkan.

Dosis pertama harus diberikan pada bayi berusia 9 bulan, dosis kedua diberikan pada anak 18 bulan, kemudian agar semakin lengkap, anak-anak juga wajib ikut program imunisasi sekolah atau dikenal dengan istilah BIAS.

"Kami juga terus mengedukasi masyarakat dengan menanamkan pemahaman agar mereka dapat perlindungan optimal dari penyakit campak atau rubella," bebernya.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kesehatan, sebanyak 12 provinsi di Indonesia sukses menggelar program imunisasi MR sampai 95%.

Daerahnya antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Papua Barat, Lampung, Gorontalo, Bali, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.

3. Demam Berdarah pada anak-anak

3. Demam Berdarah anak-anak
huffingtonpost.com

Sejak awal Januari 2019, laporan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang masuk ke Kementerian Kesehatan terus bertambah.

Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi  mengatakan, berdasarkan data sementara yang dihimpun Kementerian Kesehatan dari awal tahun 29 Januari 2019, jumlah penderita DBD yang dilaporkan mencapai 13.683 orang di seluruh Indonesia

Dari jumlah ini, angka kematian yang disebabkan kasus DBD mencapai 133 orang. Angka kematian tertinggi terjadi di Jawa Timur, yaitu 47 orang, lalu NTT dengan 14 orang, Sulawesi Utara dengan 13 orang, dan Jawa Barat dengan 11 orang.

"Karena selama Januari ada kenaikan, makanya kami tetapkan status Waspada," ungkap Nadia pada Kamis (31/1/2019).

Diketahui, Jawa Timur tetap menjadi provinsi dengan jumlah kasus tertinggi, baik dari data Januari 2018 maupun Januari 2019.

Pada tahun lalu, kasus tertinggi terjadi di Kota Malang, sedangkan pada tahun ini yang tertinggi adalah Kabupaten Kediri.

Nah, itulah ketiga informasi penting terkait kasus kematian bayi terbesar akibat penyakit.

Semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. 

Baca juga:

The Latest