Komunitas Endometriosis Indonesia, Saling Dukung dan Menguatkan!
Begini awal mula terbentuknya Komunitas Endometriosis Indonesia, jadi wadah saling dukung!
8 Maret 2024
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Endometriosis merupakan penyakit yang banyak terjadi dan memiliki berbagai dampak. Salah satu dampaknya adalah kualitas hidup yang menurun.
Di Indonesia, para penderita Endometriosis ternyata memiliki komunitas. Komunitas tersebut adalah Komunitas Endometriosis Indonesia. Awalnya, komunitas ini diinisiasi oleh Wenny Aurelia yang juga merupakan penyintas Endometriosis. Ia menceritakan banyak hal mengenai komunitas ini dalam acara bertajuk 'Terapi hormonal jangka panjang Dienogest menjadi rekomendasi kuat pengelolaan Endometriosis' yang diselenggarakan oleh Bayer pada Jumat (8/3/2024) di Novotel Cikini, Jakarta.
Komunitas ini ditujukan untuk para penderita Endometriosis yang disebut Endosister untuk mendapat dukungan dan edukasi tentang penanganan Endometriosis secara dini.
Selengkapnya di Popmama.com!
Editors' Pick
Penyintas Endometriosis yang Saling Dukung Satu Sama Lain
Wenny menceritakan saat-saat awal mengalami gejala Endometriosis. Gejala yang terjadi padanya adalah nyeri perut hebat yang terjadi di setiap bulan.
"Saya pertama kali mengalaminya saat remaja. Awalnya menstruasi yang saya alami tidak seperti teman-teman. Nyeri perut hebat menjadi bagian setiap bulannya," cerita Wenny.
Walau begitu, saat itu ia tidak menyadari bahwa gejala yang ia alami merupakan Endometriosis. Hal ini akibat stigma yang hadir di masyarakat tentang nyeri perut saat haid. Dimana ada stigma bahwa nyeri saat haid bisa hilang setelah menikah dan melahirkan
"Ada stigma nyeri haid hilang setelah menikah, saya pikir ini bagian alami. Nyerinya semakin hari semakin terasa, izin sekolah dan kuliah. Saya jadi banyak kehilangan momen,"
Dari stigma tersebut, setelah menikah Wenny justru fokus ke beberapa program Program Kehamilan (Promil). Ia percaya bahwa setelah ia hamil maka rasa sakitnya akan hilang. Namun, akhirnya ia menyadari bahwa gejala nyeri yang dialami bukan nyeri biasa.
"Saya awalnya ke dokter fokusnya ke Promil karena yakin setelah hamil akan hilang rasa sakitnya. Nyeri yang saya rasakan semakin parah, satu hari dalam menstruasi pertama saya bisa nyeri sekali. 6 bulan sebelum saya memutuskan saya mengambil tindakan, saya sempat ke UGD, saya juga sempat dirawat karena ada demam dan nyeri yang sangat tinggi. Itu titik balik, saya merasa saya tidak mau dikontrol penyakit ini lagi. Saya percaya pasti ada obat dari nyeri ini," ungkap Wenny.
Akhirnya, ia menemukan solusi bahwa terapi hormonal adalah jalan keluar dari rasa sakit. Namun, ia mengaku sempat tidak konsisten dalam mengkonsumsi obat hormon yang diberikan dokter.
“"Dokter menyarankan saya untuk terapi hormonal. Saya mencoba beberapa terapi hormonal, saya tidak langsung menemukan terapi yang tepat. Saya tidak konsisten, tidak disiplin mengatur minum obat. Saya capek dan bosan, akhirnya dokter bilang patuh dan konsisten adalah kunci. Meskipun kadang sulit dan tidak nyaman, saya didampingi suami yang sportif dan dokter yang inovatif," lanjutnya.
Awal Membangun Komunitas, Jadi Tempat Edukasi
Karena saat itu informasi mengenai Endometriosis sangat minim di Indonesia. Awalnya, Wenny memutuskan untuk bergabung dengan komunitas yang ada di luar negeri secara daring. Hal ini ia lakukan untuk mendapat dukungan dari orang yang bernasib sama.
“"Beliau (dokter) menyarankan untuk bergabung komunitas, waktu itu adanya di luar negeri. Saya ikuti saran itu, Endo UK dan Endo Copenhagen," jelas Wenny.
Sejak itu ia merasa bahwa di Indonesia kehadiran komunitas Endometriosis dibutuhkan. Hal ini mendorongnya untuk membangun komunitas yang awalnya ia luncurkan di Facebook.
“Saya merasa di Indonesia harusnya ada komunitas semacam ini. Pasti di luar sana ada yang perlu dibantu. Akhirnya saya membangun di Facebook sampai sekarang ada 6.000 yang berpartisipasi," lanjutnya.
Ia menyadari bahwa keterbatasan informasi mengenai Endometriosis di masyarakat menyebabkan lambatnya proses diagnosis. Selain itu, keberadaan stigma bahwa nyeri saat haid adalah normal di masyarakat.
"Saya menyadari tantangannya dialami orang lain. Ada keterbatasan informasi di masyarakat. Saya sendiri 18 tahun baru bisa mendiagnosis. Tantangan lainnya ada misinformasi. Ada doktrin sakit haid adalah normal dan akan hilang setelah menikah.Rasa sakit dinormalisasi kan," ujar Wenny.
Saat ini, Komunitas Endometriosis Indonesia sudah menjadi tempat edukasi mengenai gejala dan penanganan Endometriosis.
"Awalnya cuma diskusi, semakin lama semakin kompleks kasus yang dibahas. Menjadikan komunitas bukan cuma hanya tempat berdiskusi dan sharing, akhirnya saya ubah haluan, kita ingin wadah edukasi, komunikasi dan berbagi semangat menghadapi Endometriosis," tambahnya.
Ia juga mengaku bahwa sudah banyak sekolah yang menghubungi komunitasnya. Tujuannya adalah mengundang komunitas untuk memberi edukasi mengenai Endometriosis.
"Banyak sekolah yang sudah menghubungi untuk mengedukasi soal Endometriosis. Edukasinya dari gejala, dengan adanya gejala mereka bisa mengerti,” ungkapnya.