Mengakhiri Pernikahan Anak di Malawi dan Ketahui 6 Risiko Bahayanya
Pernikahan anak yang banyak terjadi di Malawi, Afrika, masih banyak terjadi juga di Indonesia
30 Maret 2018
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Penikahan yang terjadi sebelum seseorang berusia 18 tahun merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut kajian dari UNICEF, ada berbagai hal yang dapat menempatkan seorang anak perempuan pada risiko pernikahan anak, termasuk kemiskinan, persepsi bahwa pernikahan akan memberikan 'perlindungan', kehormatan keluarga, norma sosial, hukum adat atau agama yang membenarkan praktik tersebut, kerangka legislatif yang tidak memadai, dan keadaan sistem pencatatan sipil pada sebuah negara.
Anak perempuan yang terjebak dalam pernikahan usia dini akan mengalami kehamilan pada usia yang tidak seharusnya, terisolasi dari lingkungannya, putus sekolah, membatasi kesempatannya untuk berkarier, dan membuat mereka terancaman mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Dikutip dari marieclaire.com, setiap tahunnya, 15 juta anak perempuan atau 28 anak setiap menitnya di dunia menjadi pengantin usia dini. Di Malawi, Afrika, satu dari dua anak perempuan menjadi korban dari perjodohan pernikahan anak di bawah usia 18 tahun.
Pernikahan di bawah usia 18 tahun di Malawi merupakan sebuah pelanggaran hukum, namun karena aturan adat, negara ini menjadi salah satu negara yang memiliki angka pernikahan anak tertinggi di dunia.
Senior Chief Theresa Kachindamoto, penguasa suku dari Distrik Dedza di Malawi Tengah, memiliki tugas utama untuk mengakhiri pernikahan ilegal untuk anak perempuan di bawah umur dan membuat mereka kembali melanjutkan sekolah.
Kachindamoto sebagai salah satu anggota perempuan kuat dari suku pemegang kekuasaan di Malawi, sama sekali tidak menoleransi terjadinya pernikahan anak. Meski sempat mengalami kesulitan dan mendapat ancaman kematian dari penganut adat garis keras, Kachindamoto tetap berhasil melanjutkan upayanya.
Di tahun 2017, ia berhasil menangani kurang lebih 200 anak yang terlibat dalam pernikahan anak di daerahnya. Selama 14 tahun masa pemerintahannya, ia menyelamatkan 2600 pengantin anak dan membantu anak-anak perempuan menyelesaikan pendidikan mereka dengan cara bekerja sama dengan sekolah yang bersangakutan.
Kachindamoto bahkan tidak segan-segan untuk memecat anggotanya jika mereka tidak mendukung upayanya dalam menghentikan praktik pernikahan anak.
Dalam artikel khusus yang ditulis oleh Abigail Haworth untuk laman marieclaire.com, Kachindamoto mengungkapkan bahwa pendidikan adalah hal paling utama yang dapat memperbaiki kehidupan seseorang. Saat Kachindamoto berusaha menyelamatkan Kapito, anak perempuan yang terlibat pernikahan usia dini saat ia masih berusia 12 tahun, beberapa penduduk desa berusaha untuk menutupi kasus Kapito.
Kachindamoto mengatakan “Anak perempuan ini masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Kamu tidak akan pernah memperbaiki kehidupanmu, kecuali kalian menyekolahkan anak perempuan kalian,” ungkapnya dengan tegas.
Ia juga menasehati Kapito agar belajar dengan sungguh-sungguh.
“Mulai saat ini, kamu sudah terikat dengan kelas. Jika kamu belajar dengan sungguh-sungguh, kamu bisa menjadi dokter, guru, atau polisi perempuan. Kamu harus memiliki gambaran untuk masa depan kamu.”
Di Indonesia, kasus pernikahan anak juga masih banyak terjadi. Menurut data Susenas 2008-2012 dan Sensus Penduduk 2010, terdapat 340.000 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun setiap tahunnya.
Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang menyumbang angka tertinggi dalam jumlah pernikahan anak di Indonesia. Selain adat budaya yang menjadi faktor utama, media sosial juga memiliki peran dalam tingginya angka pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat.
Pernikahan usia anak sangat merugikan anak-anak perempuan. Mereka tidak hanya kehilangan kebebasan, tetapi mereka juga tidak dapat mewujudkan impiannya, bahkan kesehatan mereka juga terancam.
Berikut enam fakta yang harus dihadapi oleh perempuan yang menikah di usia anak yang harus Mama ketahui.
1. Jumlah persentase pernikahan anak di Indonesia menurun
Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan UNICEF merilis laporan analisis data pernikahan usia anak pertama kalinya di Indonesia. Pada laporan tersebut, angka pernikahan usia anak atau di bawah 18 tahun di Indonesia masih tinggi, sekitar 23 persen.
Analisis yang dilakukan pada tahun 2015 tersebut menunjukkan bahwa Indonesia hanya mengalami penurunan angka pernikahan anak sebanyak 7 persen dalam waktu tujuh tahun.
Baca Juga: Ini Dia yang Membuat Orangtua Melakukan Kekerasan Terhadap Anak
2. Korban pernikahan anak terancam tidak memiliki masa depan
Anak perempuan yang terlibat pernikahan anak akan mengalami putus sekolah dan sulit untuk mendapat kesempatan dalam berkarier dan meraih mimpi. Hal itu terjadi karena mereka telah sibuk mengurus keperluan rumah tangga dan anak mereka.