Berbeda Dari yang Lain, Begini Tradisi Pemakaman Unik di Tana Toraja
Dalam budaya Toraja, pemakaman seseorang adalah hari terpenting dalam hidup mereka
2 Oktober 2019
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tana Toraja yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan memang terkenal sebagai salah satu daya tarik wisata paling popular di Indonesia. Kamu bisa menikmati berbagai kebudayaan khas suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dengan budaya khas Austronesia asli.
Masyarakat Toraja menganut adat kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyang mereka. Meskipun mayoritas masyarakat Toraja saat ini banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik, tradisi leluhur dan upacara ritual khas Tana Toraja masihterus mereka praktikkan.
Jika kamu berencana untuk mengunjungi Tana Toraja, kamu bisa mencoba kebudayaan unik dan berbeda yang mereka miliki. Mulai dari rumah adat Tongkonan, upacara pemakaman Rambu Solo, Pekuburan Gua Londa, Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira.
Terkenal dengan ritual pemakaman yang unik dan berbeda dari pemakaman pada umumnya, ritual pemakaman ini dinamakan Rambu Solo. Seperti apa ritual pemakaman unik khas Toraja? Yuk, simak rangkuman berikut ini.
Editors' Pick
1. Rambu solo, tradisi pemakaman Toraja dari dulu hingga kini
Tana Toraja dikenal dengan dua jenis upacara adat yang popular yaitu Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, Rambu Tuku adalah upacara atas rumah adat yang baru direnovasi.
Upaya pemakaman Rambu Solo dikatakan sebagai rangkaian kegiatan pelepasan orang yang sudah meninggal dengan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Persiapan upcara ini sudah dirancang selama berbulan-bulan, bahkan mereka sudah harus menabung biaya pemakaman jauh-jauh bulan.
Ketika menunggu upacara pemakaman siap, tubuh orang yang sudah meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah leluhur atau rumah adat tongkonan.
Orang yang meninggal hanya dianggap makula atau diartikan seperti orang sakit yang masih harus dirawat dan diperlakukan layaknya masih hidup.
Dalam upcara pemakaman, bagi kalangan bangsawan yang meninggal biasanya mereka akan memotong kerbau sejumlah 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong).
Upacara pemotongan ini menjadi salah satu atraksi khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau menggunakan parang dalam sekali ayunan.
2. Alfrida Lantong, masih diperlakukan seperti orang hidup sampai saat ini
Alfrida Lantong adalah bukti dari salah satu orang Toraja yang belum menjalani upacara pemakaman adata Toraja. Alfrida diyakini sudah berusia 90 tahunan. Meskipun jantung Alfrida dinyatakan sudah tak berdetak sejak tahun 2012, namun sejumlah keluarga masih beranggapan Alfrida seperti orang sakit.
Berbaring telentang dan menatap sepasang kacamata tebal dan berdebu, Alfrida diletakan dalam peti pada Tongkonan. Meskipun sudah berdebu, pihak keluarga masih mengunjunginya secara teratur, berbicara dengannya, dan membawa tiga kali sehari keperluan yang dibutuhkan Alfrida.
Dilansir dari WPLR, Mesak, keluarga dari Alfrida mengatakan bahwa mereka akan merindukan Alfrida jika mayatnya tidak diletakan di Tongkonan. Meska juga menambahkan, "Dia menjaga kita sepanjang hidup kita, jadi sekarang penting bagi kita untuk menjaganya juga."
Meskipun sudah tujuh tahun Alfrida dinyatakan meninggal, pesiapan pemakamannya masih belum lengkap. Sebab dalam budaya Toraja, pemakaman bisa menjadi sangat mahal sehingga generasi berikutnya akan dibebani hutang untuk menyelesaikan upacara pemakaman tersebut.
3. Patung kayu dengan wajah orang yang sudah meninggal untuk menghiasai kuburannya
Meskipun harus mengeluarkan banyak biaya dalam melakukan upacara pemakaman, kematian ternyata menyediakan mata pencaharian bagi banyak orang di Tana Toraja.
Baik di sektor pariwisata yang akan menarik banyak wisatawan untuk turut menyaksikan upacara pemakaman, buruh tani yang merawat kerbau untuk kurban, serta pengrajin yang akan membuat patung kayu dengan wajah orang yang sudah meninggal untuk menghiasi kuburan mereka.
Seperti yang dilansir dari WPLR, bagi Jeffrey Maguling, seorang pengukir kayu muda yang keluarganya telah berkecimpung dalam bisnis ini selama empat generasi, patung-patung itu adalah bentuk seni sekaligus sumber pendapatan bagi mereka.
"Saya tidak hanya menyalin foto orang yang sudah mati, saya mencoba menangkap karakter orang itu. Butuh sekitar 10 hari untuk membuatnya," kata Maguling. Dalam membuat patung tersebut, ia bisa menjualnya seharga sekitar 15 juta rupiah, atau $ 1.100.
Bukan karena orang Toraja tidak meratapi orang yang mereka cintai, proses ini dianggap sebagai salah satu tradisi turun temurun yang tidak pernah berakhir dari satu dunia ke dunia lain dalam kosmologi Toraja.
Setelah dimakaman, orang yang sudah meninggal tersebut tidak benar-benar pergi. Patung-patung tersebut akan terus berdiri tegang diatas tebing tempat pemakaman mereka dan akan terus mengamati tanah yang ramai dari orang-orang yang masih hidup di bawah sana.
Itulah tradisi unik dalam proses pemakaman orang Toraja. Semoga bisa menjadi pembelajaran bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam dari berbagai sisi, bahkan kematian sekalipun.