5 Alasan Mengapa Perempuan Rentan Mengalami Kekerasan
Ada banyak faktor yang memengaruhi dari budaya patriarki hingga psikologis
4 Desember 2024
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan diluncurkan pada 8 Maret 2024 lalu, sekaligus memperingati Hari Perempuan Internasional terjadi peningkatan tipis dalam jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
Total pengaduan mencapai 4.374 kasus, meningkat sebanyak 3 kasus dari tahun sebelumnya yang mencatat 4.371 kasus.
Data Komnas Perempuan menunjukan bahwa kekerasan psikis mendominasi dengan jumlah sebesar 3.498 atau 41,55%, diikuti dengan kekerasan fisik sebesar 2.081atau 24,71%, kekerasan seksual sebesar 2.078 atau 24,69%, dan kekerasan ekonomi sebesar 762 atau 9,05%.
Tindak kekerasan bisa dialami oleh siapa saja. Namun, di Indonesia korban lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Mengapa perempuan lebih banyak mendapatkan kekerasan? Ada beberapa faktor penentu lho.
Berikut Popmama.com rangkum deretan alasan mengapa perempuan rentan mengalami kekerasan!
1. Budaya patriarki yang tinggi
Budaya patriarki menjadi faktor utama yang membuat perempuan rentan terhadap kekerasan. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan secara sosial dan ekonomi, sementara perempuan dianggap lebih rendah.
Dalam banyak kasus, kekerasan oleh laki-laki dilihat sebagai bentuk kontrol terhadap perempuan. Di Indonesia, budaya patriarki masih sangat kuat, terutama dalam rumah tangga.
Perempuan sejak kecil lebih banyak diajarkan untuk tunduk kepada suami, sehingga sering menerima kekerasan sebagai hal wajar. Ketakutan akan stigma sosial dan ancaman kemiskinan membuat banyak perempuan bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan.
Editors' Pick
2. Kurangnya pendidikan seksual
Kurangnya pendidikan seksual yang memadai, baik di sekolah maupun dari orangtua, menjadi salah satu penyebab perempuan rentan terhadap kekerasan seksual.
Banyak orang tidak mendapatkan bimbingan tentang hubungan sehat, seperti cara mengenali tanda-tanda hubungan yang tidak sehat, menetapkan dan menghormati batasan, atau memahami persetujuan dalam sebuah hubungan. Hal ini membuat pemahaman mereka tentang hubungan sering kali terbentuk dari contoh yang kurang ideal, seperti orangtua atau media.
Akibatnya, banyak perempuan tidak menyadari bentuk pelecehan hingga mengalaminya sendiri. Minimnya pendidikan ini memperbesar risiko mereka menjadi korban kekerasan seksual.