Invermectin untuk Obat Covid-19, Bisa Sebabkan Rusaknya Syaraf Pusat?
Invermectin masuk ke dalam obat keras sehingga jangan sembarangan dikonsumsi
2 Juli 2021
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Beberapa waktu lalu beredar kabar soal akan digunakannya Invermectin sebagai salah satu obat Covid-19 di masa yang akan datang. Hal itu pun membuat banyak pihak menunjukkan berbagai reaksi.
Invermectin (Invermektin) adalah medikasi yang digunakan untuk mengobati berbagai jenis infestasi parasit. Pada manusia, penyakit-penyakit yang diobati dengan ivermektin misalnya infestasi kutu kepala, kudis, kebutaan sungai, strongiloidiasis, trikuriasis, askariasis, dan filariasis limfatik. Di Indonesia obat ini dikenal sebagai obat cacingan dan masuk ke dalam obat keras.
Epidemiolog UI, Pandu Riono yang dikutip dari Twitter-nya menentang keras penggunaan obat tersebut untuk terapi Covid-19. Sehingga masyarakat yang hendak membeli obat ini harus mengurungkan niatnya. Pandu menyebut jika Invermectin sesuai anjuran WHO hanya digunakan dalam pengobatan Covid-19 dalam masa uji klinis saja.
"Tegas dan jelas. Ivermectin hanya boleh dipakai dalam uji klinik. Jangan dipromosikan, jangan diresepkan, jangan konsumsi obat yang belum terbukti bermanfaat dan aman," ujar Pandu di Twitternya, Jumat (2/7/2021).
Sebelumnya, dikutip dari Instagram Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebut mendukung upaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mempercepat uji klinis terhadap Ivermectin sebagai obat terapi pencegahan dan penyembuhan pasien Covid-19.
Berikut Popmama.com rangkum sejumlah fakta Invermectin yang dikabarkan bisa berbahaya jika diminum tanpa resep dokter.
1. Percepatan uji klinis Ivermectin didukung oleh Erick Thohir
Menteri BUMN, Erick Thohir menanggapi langkah BPOM yang tengah melakukan uji klinis Ivermectin sebagai obat terapi pasien Covid-19.
Persiapan pun sudah dilakukan PT Indofarma Tbk untuk memproduksi obat Ivermectin secara massal sehingga ketika uji klinis selesai dilakukan dan izin edar sudah dikeluarkan BPOM, maka obat tersebut siap diproduksi besar-besaran dalam waktu singkat.
Penyediaan obat terapi Covid-19 yang murah memang menjadi perhatian utama Menteri Erick Thohir. Hal ini tak lain agar masyarakat yang lebih memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan pokok di tengah pandemi ini tidak lagi terbebani dengan harga obat yang mahal.
Menurut rencana harga obat terapi Ivermectin akan dibanderol dengan harga antara Rp 5.000 hingga Rp 7.000 setiap tabletnya.
"Dengan harga obat yang murah dan terjangkau, saya yakin rakyat akan bisa mendapatkannya dengan mudah dan tidak akan menjadi beban. Terlebih untuk pencegahan terhadap Covid-19, tidak perlu selalu dikonsumsi dan hanya 2-3 tablet. Begitu pula untuk penyembuhan. Semoga ikhtiar kita untuk membuat rakyat kita sehat dan Indonesia terbebas dari pandemi ini segera terwujud," ungkap Menteri BUMN yang dikutip dari Instagram Kementerian BUMN, Senin (28/6/2021) lalu.
Editors' Pick
2. Efek samping Ivermectin menurut BPOM Amerika Serikat
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/ FDA) menyebut tidak menyarankan Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19.
"FDA belum menyetujui ivermectin untuk digunakan dalam mengobati atau mencegah Covid-19 pada manusia. Ivermectin disetujui pada dosis yang sangat spesifik untuk beberapa cacing parasit, dan ada formulasi topikal (pada kulit) untuk kutu rambut dan kondisi kulit seperti rosacea. Ivermectin bukan anti-virus (obat untuk mengobati virus)," jelas FDA dalam website resminya.
Dikutip dari laman FDA, ada beberapa efek samping dari penggunaan Ivermectin termasuk ruam kulit, mual, muntah, diare, sakit perut, pembengkakan wajah atau anggota badan, efek samping neurologis (pusing, kejang, kebingungan), penurunan tekanan darah secara tiba-tiba, ruam kulit yang parah.
Penggunaan obat ini juga berpotensi menyebabkan cedera hati. Sampai saat ini, pengujian Ivermectin sebagai 'terapi Covid-19' masih terbatas.
Diungkapkan Pandu Riono di Twitternya, uji klinik terbaru disebut diberikan pada pasien Covid-19 dengan gejala ringan, sedang dan berat. Setelah sebelumnya pengujian Ivermectin ini diberikan untuk pasien Covid-19 ringan dan sedang yang dirawat di rumah sakit.
Hasil dari uji klinis ini diperlukan untuk melihat khasiat dan keamanan Ivermectin sebelum digunakan sebagai terapi pengobatan Covid-19.
3. Jangan sembarangan minum Ivermectin untuk obati Covid-19
Ivermectin di Indonesia saat ini diberi izin edar sebagai anti parasit atau dikenal sebagai obat cacing. CEO Pharmacare Consulting, apoteker Julian Afferino mengungkapkan kalau obat tersebut belum ada izin untuk penggunaan terapi Covid-19 sebab uji kliniknya belum selesai.
Dikutip dari berbagai sumber, Julian menyebut jika obat ini bisa menyebabkan kerusakan susunan saraf pusat (SSP). WHO pun belum merekomendasikan Ivermectin untuk obat Covid-19 begitupun dengan negara maju lainnya.
Di Afrika Selatan melalui South African Health Product Regulatory Authority (SAHPRA) dan para ahli terkemuka di negara itu mengingatkan untuk tidak menggunakan Ivermectin dalam mengobati Covid-19. Di India sendiri, otoritas di sana sempat mengeluarkan Emergency Use Authorisation (EUA) atau izin pemakaian darurat, hingga akhirnya mengeluarkan Ivermectin dari regimen obat Covid-19.
Julian Afferino mengingatkan kepada masyarakat kalau ada 'warning' dari pengawas obat dan makanan di seluruh dunia untuk tidak menggunakan Ivermectin sebagai obat Covid-19 sebelum ada hasil uji klinis selesai dan dinyatakan aman sesua dosisnya.
BPOM sendiri memberikan izin edar Ivermectin sebagai anti parasite/cacingan (strongyloidiasis dan onchocerciasis) dengan dosis tunggal 12 mg untuk pemakaian sekali dalam setahun, dan bukan sebagai obat Covid-19.
4. Kerusakan susunan saraf pusat bisa terjadi jika konsumsi Ivermectin sembarangan
Percobaan penggunaan Ivermectin di berbagai negara berawal dari penelitian di Australia, tapi penelitian tersebut dilakukan secara in vitro (laboratorium). Dengan dosis besar dan apabila dikonversi kepada pasien Covid-19 akan terlalu berhaya dan sulit diterapkan secara in vivo pada manusia.
Dari berbagai sumber, Julian menjelaskan apabila Ivermectin diberikan pada pasien Covid-19 dengan kondisi berat, zat obatnya akan masuk ke dalam siklus Glutamate-Gatted Chlorine Channel. Apabila terjadi inflamasi berat akibat badai sitokin, dosis itu sudah cukup untuk mengakibatkan kerusakan SSP.
Karena, inflamasi hebat dapat menyebabkan kebocoran sawar darah otak (Brain Blood Barrier/BBB) dan berikatan dengan reseptor GABA.
Pada parasit, Ivermectin berikatan dengan reseptor chlorine ion channel sehingga merusak syaraf dan otot parasit. Cara itulah yang dilakukan Ivermectin untuk melumpuhkan cacing di dalam tubuh.
Jika dalam kondisi inflamasi hebat, bisa terjadi kebocoran pada BBB sehingga Ivermectin akan masuk ke jaringan otak dan berikatan dengan chlorine ion channel. Hal ini membuat kemungkinan otak pasien akan sama dengan cacing bagi Ivermectin, yakni syarafnya akan mengalami kerusakan dan kelumpuhan.
Apabila terjadi kerusakan SSP, pasien akan mengalami gejala seperti stroke yaitu kelumpuhan anggota gerak badan. Ketika penderita stroke masih bisa berpikir, orang yang mengalami kerusakan SSP efeknya akan permanen.
Selain itu, Ivermectin juga tidak boleh digunakan pada anak di bawah usia 5 tahun. Sehingga pemilihan Ivermectin untuk obat Covid-19 masih harus melalui serangkaian uji klinik agar diketahui berbagai efek samping yang mungkin ada.
5. Saat ini, Ivermectin masuk ke dalam obat keras
BPOM dalam pernyataan resminya menyampaikan kalau izin edar saat ini terhadap Ivermectin sebagai obat cacing. Ivermectin 12 mg yang terdaftar di Indonesia digunakan untuk indiskasi infeksi cacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis).
Ivermectin yang diberikan dalam dosis tunggal 150-200 mcg/kg berat badan dengan pemakaian 1 (satu) tahun sekali. Perlu digari bawahi kalau Ivermectin termasuk jenis obat keras, sehingga pembeliannya harus dengan resep dokter dan pemakaiannya harus di bawah pengawasan dokter.
Itulah tadi informasi seputar Ivermectin sebagai obat Covid-19 yang saat ini masih dalam uji klinis di Indonesia. Bagi Mama dan Papa tetap berhati-hati dan jangan sembarangan mengonsumsi obat ya. Lebih baik pilih obat yang sudah direkomendasikan dokter.
Jangan sampai self-diagnosed dan self-medicated!
Baca juga:
- Vaksin Bukan Obat Covid-19, Simak Penjelasannya!
- BPOM Setuju Ivermectin Diuji Klinis sebagai Obat Covid-19
- Pro dan Kontra Ivermectin yang Disebut Obat Covid-19