Studi: Omicron Siluman Berpotensi Sebabkan Penyakit Parah
WHO meminta seluruh negara di dunia tetap waspada terhadap keberadaan Omicron siluman
23 Februari 2022
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahaya dari sub-varian Omicron BA.2 yang dikenal dengan sebutan Omicron siluman. Pasalnya, sub-varian Omicron ini bisa menimbulkan penyakit parah. Hal ini berdasarkan hasil studio pracetak yang diterbitkan di jurnal bioRxiv.
Penelitian tersebut dilakukan oleh para peneliti di University of Tokyo, Jepang. Penelitian yang sudah dilakukan tersebut menggunakan sampel hamster yang tidak memiliki kekebalan terhadap virus.
Untuk memperdalam pemahaman Mama mengenai Omicron siluman, di bawah ini Popmama.com telah merangkum informasinya dilansir dari laman resmi WHO, Selasa (22/2/2022).
Yuk Ma, diperhatikan untuk kesehatan diri sendiri dan keluarga!
Editors' Pick
1. Omicron siluman sebabkan penyakit parah dan merusak paru-paru
Para peneliti di Jepang mencoba menginfeksi hamster dengan sub-varian Omicron BA.2 dan BA.1. Hasilnya, hamster yang terinfeksi BA.2 mengalami penyakit parah yang ditandai dengan rusaknya fungsi paru-paru.
Berdasarkan sampel jaringan, paru-paru hamster yang terinfeksi BA.2 mengalami kerusakan lebih parah dibanding paru-paru hamster yang terinfeksi BA.1.
2. Omicron siluman tidak dapat dianggap remeh
Salah satu peneliti bernama Kei Sato meminta masyarakat tidak menganggap remeh Omicron siluman. Sub-varian Omicron BA.2 tidak terdeteksi pada tes PCR seperti varian Omicron sebelumnya.
Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan whole genome sequencing (GMS) guna mengidentifikasi adanya sub-varian Omicron BA.2. Sementara itu, Omicron siluman ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut sehingga ada kemungkinan ada penamaan ilmiah untuk sub-varian Omicron tersebut.
“Kita butuh melihat huruf Yunani baru di sini (kemungkinan sub varian Omicron BA.2 masuk daftar baru Covid-19),” ungkap ahli virus Fakultas Kedokteran University of Washington, Deborah Fuller.