Hari Perempuan Internasional, KPPPA Ingatkan Fakta Perkawinan Anak
KPPPA ingatkan perkawinan anak dapat menghambat tumbuh kembang anak dan mengancam generasi mendatang
8 Maret 2019
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Hari Perempuan Internasional atau Internasional Women's Day adalah sebuah perayaan untuk memperingati keberadaan kaum perempuan di seluruh dunia yang biasa diadakan setiap tanggal 8 Maret.
Bersamaan dengan Hari Perempuan Internasional, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga telah menyoroti angka perkawinan anak di Indonesia. Berikut Popmama.com telah merangkum berita selengkapnya.
Editors' Pick
1. Batas minimal usia untuk menikah
Negara harus hadir dengan upaya strategis dan lebih masif dalam merespon hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai batas usia anak dan “Memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun”.
Perkawinan anak mengancam Ketahanan Nasional dan tidak sejalan dengan jaminan Negara dalam pemenuhan hak anak untuk tumbuh kembang yang optimal.
"Putusan progresif ini tentu merupakan kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan anak untuk seluruh anak Indonesia. Dalam putusan ini juga mengamanahkan Pemerintah bersama pembentuk Undang-Undang diberi waktu 3 tahun melakukan upaya untuk melaksanakan putusan tersebut. Tentu kerja keras ini akan kita lakukan bersama. Jika angka perkawinan anak terus meningkat dan terus dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami ancaman Ketahanan Nasional,” pungkas Sekretaris Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu pada kegiatan Seminar Nasional.
Adapun agenda Seminar Nasional tersebut adalah untuk "Menindaklanjuti Hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk Merevisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” yang diselenggarakan oleh KPPPA, sebagai rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2019.
Senada dengan Pribudiarta, Staf Khusus Presiden, Ruhaini mengatakan bahwa keputusan MK membawa angin segar bagi upaya Negara dalam memberikan perlindungan anak yang optimal, di mana usia perkawinan harus disesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Lebih lanjut lagi, Ruhaini mengatakan bahwa Indonesia diharapkan menjadi pionir untuk mencegah perkawinan anak di kalangan negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono yang juga hadir sebagai narasumber menyatakan bahwa MK memberikan mandat untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan setelah mempertimbangkan dalil “diskriminasi” yang ditonjolkan oleh pihak pemohon, karena MK melihat adanya pembedaan usia perkawinan antara perempuan dan laki-laki.
2. Perkawinan anak merupakan pelanggaran HAM
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin mengatakan bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghambat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
“Perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun (pemenuhan hak anak atas pendidikan), gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan (kesehatan dan angka kematian ibu melahirkan), serta munculnya pekerja anak dan upah rendah (menurunnya ekonomi)," ungkap Lenny.
"Penghapusan perkawinan anak tidak hanya berpengaruh pada pencapaian SDG’s namun juga berpengaruh untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA),” sambung Lenny.