Kemen PPPA Memperkuat Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak
Kemen PPPA menggencarkan kerjasama dengan pemerintah daerah untuk mencegah perkawinan dini pada anak
2 Februari 2020
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Praktik perkawinan anak di Indonesia menjadi perhatian khusus. Di ASEAN, Indonesia menempati urutan ke 2 untuk perkawinan anak. Itu sebabnya Presiden Joko Widodo mengamanahkan lima isu prioritas kepada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), satu diantaranya adalah pencegahan perkawinan anak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 menunjukkan sekitar 11,2% perempuan berusia 20-24 tahun yang telah menikah, melaksanakan pernikahan pada usia anak yaitu di bawah usia 18 tahun.
Di dalam RPJMN, Presiden Republik Indonesia menargetkan penurunan angka perkawinan pada anak menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024. Sebagai upaya, Kementrian PPPA merangkul seluruh pihak, terutama pimpinan daerah untuk memperkuat Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak di 20 Provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di atas angka rata-rata nasional.
Komitmen ini juga telah disahkan oleh perwakilan tokoh lintas agama, koalisi perempuan, jurnalis anak, forum anak nasional, serta lembaga masyarakat lainnya. Serta ditanda tangani oleh Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Berikut ini kesimpulan yang telah Popmama.com rangkum berdasarkan hasil pertemuan Kemen PPPA dengan berbagai lembaga pemerintahan pusat maupun daerah agar ikut memperkuat Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA).
Editors' Pick
1. Pernyataan Kemen PPPA menegaskan perkawinan dini pada anak dapat merugikan banyak pihak
Mentri PPPA, Bintang Puspayoga menyatakan, pernikahan dini pada anak dapat mengancam pemenuhan hak-hak dasar seperti hak untuk mendapatkan pengasuhan yang layak, memperoleh pendidikan dan layanan kesehatan serta hidup yang bebas dari kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan menyimpang lainnya.
Selain itu, pratik perkawinan anak memiliki jangka panjang terhadap keluarga, masyarakat dan generasi masa depan.
Secara fisikpun anak perempuan belum siap untuk mengandung dan melahirkan sehingga meningkatkan risiko kematian terhadap ibu dan anak, komplikasi kehamilan, kelahiran bayi dengan berat bedan rendah, bahkan keguguran.
Ketidaksiapan mental karena usia yang masih muda juga meningkatkan risiko perceraian dan pemberian pola asuh yang tidak tepat pada anak.
Langkah progresif yang dilakukan pemerintah pasca disahkan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dimana batas usia perkawinan anak baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.
2. Langkah dan komitmen yang dilakukan Kementrian Dalam Negeri untuk mendukung pencegahan perkawinan dini pada anak
Sri Purwaningsih selaku Direktur II SUPP menyatakan telah melakukan pengawasan mengenai PPPA di daerah. Dengan hal itu, Kemendagri mengeluarkan peraturan No.31 Tahun 2019 yang mengatur tentang Pedoman Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
Hal ini bertujuan sebagai sinkronisasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat agar rencana pembangunan di daerah maupun nasional berjalan selaras.
Tidak hanya dari perencanaan, terdapat anggaran yang diatur oleh Kemendagri. Permendagri Nomor 33 tentang pertumbuhan APBD. Peraturan ini bertujuan agar ada jaminan pemerintah daerah telah melakukan urusan ini sesuai dengan target nasional.
Minggu ini, Mentri Dalam Negeri telah menerbitkan surat edaran kepada seluruh pemerintah daerah untuk memfokuskan perencanaan anggaran daerah agar difokuskan ke penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satunya, mengurangi angka pernikahan anak.
3. Mahkamah Agung menegaskan peraturan mengenai dispensasi perkawinan agar tidak terjadi perkawinan siri antara anak
Asisten Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung, Syaiful Majid menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang sering diajukan untuk dispensasi kawin diantaranya kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan bebas yang mengakibatkan anak hamil di luar nikah, anak telah hamil di luar nikah, putus sekolah, dan rendahnya ekonomi keluarga.
Dispensasi perkawinan sendiri masih menjadi polemik besar paska disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kemudian Mahkamah Agung menerbitkan perma No.5 Tahun 2019 yang isinya mengatur perkara dispensasi perkawinan agar mencegah pernikahan anak. Selanjutnya, Mahkamah Agung melakukan pendidikan dan pelatihan kepada para Hakim mengenai putusan hak anak pasca perceraian.
Pekerjaan pemerintah ini semakin berat karena adanya gerakan di media sosial yang mengajak para muda-mudi untuk berani menikah pada usia muda dan usia anak. Untuk merespon gerakan tersebut, Kemen PPPA telah meluncurkan Iklan Layanan Masyarakat “Pencegahan Perkawinan Anak” yang ditujukan untuk kaum milenial.
Harapan dari Kemen PPPA gerakan ini bukan hanya digencarkan kepada pemerintah saja namun masyarakat juga perlu andil untuk mencegah perkawinan dini pada anak agar gerakan ini dapat terlaksana dengan semestinya.
Baca juga:
- Ibu Tiri Menganiaya Anak dengan Membakar Tangannya, Ini Kata KPPPA
- KPPPA: Demi Kesejahteraan Keluarga, Perempuan Pahami Literasi Keuangan
- KPPPA: LSM Harus Pertimbangan Kepentingan Terbaik untuk Anak