Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, Mama tentu bisa saja bertemu dengan siapa pun di lingkungan sekitarmu, baik itu tetangga di dekat rumah, maupun rekan kerja atau sahabat lama.
Perlu kamu ketahui, tidak semua orang memiliki kondisi kesehatan yang sama. Di lingkungan sekitarmu, kamu bisa saja bertemu dengan teman yang memiliki masalah dengan kondisi kesehatan mental.
Kamu sebagai orang awam mungkin bingung dengan apa yang harus dilakukan saat bertemu dengan mereka. Terlebih lagi, jika kamu tidak pernah merasakan apa yang mereka alami.
Menjawab kegelisahan itu, kali ini Popmama.com telah merangkum beberapa hal yang bisa dilakukan saat bertemu teman dengan masalah mental secara detail.
Simak informasinya berikut ini untuk mengetahui jawabannya!
1. Sampaikan bahwa kamu berempati dengan kondisinya
Pexels/Liza Summer
Saat ditemui setelah acara Menjadi Manusia Talks pada Sabtu (23/12/2023), Lady Noor Chita Mawardi yang merupakan Co-founder Santosha.id menjelaskan bahwa hal yang bisa dilakukan di awal adalah menyampaikan rasa empati.
"Sebenarnya bisa dilakukan di awal adalah menyampaikan bahwa kita sangat berempati terhadap kondisinya dia," katanya di Jakarta Pusat.
Akan tetapi, Chita pun mengingatkan bahwa perlu momen tepat untuk menyampaikan rasa empati kepada mereka. Dalam hal ini, kamu tidak bisa langsung berbicara tentang rasa empatimu kepada mereka tanpa melihat momen yang tepat.
"Kita cari momen atau waktu yang tepat. Sama kayak kita ngomong sama semua orang, pasti kita harus cari momen waktu yang tepat. Ya bisa disampaikan sama kayak pada umumnya kita berempati sama orang. Jadi, sampaikan saja bahwa kita berempati," sambungnya.
Editors' Pick
2. Kamu perlu memberikan ruang kepada mereka
Freepik
Chita sendiri tidak membantah adanya beberapa orang yang memberikan perlakuan khusus kepada mereka yang memiliki masalah mental. Akan tetapi, Chita menjelaskan bahwa sebenarnya hal itu justru membuat mereka merasa jauh tidak nyaman.
Oleh karena itu, Chita berpendapat bahwa memberikan ruang kepada mereka juga penting dilakukan. Dalam hal ini, tak perlu ada perlakuan khusus kepada mereka, tetapi beri tahu mereka untuk menyampaikan kepadamu tentang apa yang dibutuhkan.
"Jadi sebenarnya itu tadi kalau menurut aku yang kedua adalah memberikan ruang kepada mereka," katanya.
"Jadi, ya nggak perlu ada perlakuan khusus ke mereka tapi just kasih disclaimer ke mereka di awal bahwa kalau ada apa pun yang mereka butuhkan itu sebenarnya ya kasih tahu ke aku," sambungnya.
3. Tanyakan tentang hal yang menjadi pemicu bagi mereka
Freepik
Tidak hanya menyampaikan rasa empati dan memberikan ruang, Chita juga berpendapat bahwa bertanya tentang hal yang menjadi trigger atau pemicu gangguan bagi mereka juga bisa kamu lakukan.
Chita mengaku, langkah ini juga dilakukannya di lingkup pekerjaan kepada timnya yang memiliki kondisi tersebut. Tindakan itu bisa dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pemicu bagi mereka. Terlebih lagi, setiap orang memiliki pemicu yang berbeda.
"Kalau kita ada di lingkup kerja biasanya aku selalu tanya sama tim aku yang juga memang punya kondisi tersebut. Aku pasti akan nanya sama mereka, 'Kasih tahu aku trigger kamu apa'," kata Chita.
"Karena biasanya setiap orang yang punya gangguan itu trigger-nya beda-beda dan situasinya men-trigger juga yang berbeda," sambungnya.
Chita sendiri memiliki cara untuk menghadapi orang yang memiliki pemicu gangguan dengan nada tinggi. Menurutnya, dia akan selalu meluangkan waktu sesi one-on-one setiap ada kesempatan untuk berkomunikasi dan menggunakan nada bicara yang nyaman untuk mereka.
"Biasanya kayak ada yang trigger dengan nada yang tinggi gitu. Jadi aku setiap ada komunikasi sama dia, even though itu menyampaikan feedback gitu ya. Aku akan selalu luangin waktu atau selalu luangin ruang di mana kita one-on-one session," kata Chita.
"Jadi, nggak terlalu banyak di hadapan orang banyak. Nadaku juga nggak terlalu tinggi yang memang nyaman buat dia juga," sambungnya.
4. Menggunakan rumus 'I statement' pada saat menyampaikan sesuatu yang sedikit sensitif kepada mereka
Freepik
Selain itu, kamu juga bisa melakukan komunikasi asertif pada saat berkomunikasi dengan mereka. Saat melakukan hal ini, Chita menyarankan untuk menggunakan kalimat 'I statement' atau 'pernyataan saya'.
"Jadi ketika kita berkomunikasi sama mereka, usahakan untuk menggunakan 'I statement'. Jadi, 'Saya merasa bahwa kamu kayaknya lagi nggak baik-baik aja.' 'Tapi apakah benar kamu lagi gak baik-baik aja?'," jelas Chita.
Menurut Chita, teknik ini bisa kamu gunakan untuk menyampaikan hal-hal yang mungkin agak sedikit sensitif atau hal yang mungkin menjadi pemicu untuk mereka.
"Ketika komunikasi sama mereka, menyampaikan hal-hal yang mungkin agak sedikit lebih sensitif atau hal-hal yang mungkin triggering (memicu) buat mereka, pakai saja rumus 'I statement' bahwa menyampaikan apa yang kita rasakan, apa yang kita harapkan, dan konfirmasi ke dia," jelas Chita.
"Apakah dia merasakan dan mengalami hal yang sama? Satu persepsi nggak kita? Ibaratnya kayak gitu," sambungnya.
Sekadar informasi, dikutip dari laman Very Well Mind, komunikasi asertif melibatkan menyatakan perasaan serta kebutuhan dengan jelas dan langsung sambil menghormati orang lain.
Perlu kamu ketahui, berkomunikasi secara asertif dapat memperkuat hubungan dengan mengurangi rasa stres akibat konflik dan memberikan dukungan sosial ketika menghadapi masa-masa sulit.
5. Hindari berspekulasi tentang mereka
Freepik/katemangostar
Terakhir, Chita juga mengingatkan kamu untuk menghindari berspekulasi tentang mereka. Bagi Chita, berspekulasi tentang mereka bisa menjadi hal yang salah.
Menurutnya, terkadang ada orang yang berpendapat untuk tak boleh terlalu keras dengan mereka, terlebih lagi dalam lingkup pekerjaan. Mengenai hal itu, Chita berpendapat bahwa bisa saja apa yang dipikirkan orang kepada mereka tidak sama.
Menurut Chita, mereka dalam lingkup pekerjaan tetap membutuhkan adanya feedback atau umpan balik dari orang lain, hanya saja kamu perlu memperhatikan dari segi cara penyampaiannya kepada mereka.
"Mereka tetap butuh feedback sebenarnya, cuma cara penyampaiannya yang mungkin harus dengan cara yang bisa diterima sama mereka atau yang nyaman buat kita berdua gitu," jelasnya.
"Karena aku udah ngobrol sama dia bahwa aku tau trigger-nya apa dan cara untuk berkomunikasi sama dia gimana. Jadi ya sudah aku one-on-one session. Terus ngobrol sama dia, menyampaikan feedback dan kritik untuk dia juga untuk bisa perform dengan lebih baik," pungkasnya.
Jadi, itulah beberapa hal yang bisa dilakukan saat bertemu teman dengan masalah mental. Dari beberapa hal di atas, ternyata ada yang boleh dilakukan dan sebaiknya perlu dihindari saat berinteraksi dengan mereka.