5 Penelitian soal Korban KDRT Susah Lepas dari Hubungan Toksik

Apa saja alasan korban KDRT yang membuatnya susah lepas dari hubungan toksik menurut penelitian?

1 Desember 2024

5 Penelitian soal Korban KDRT Susah Lepas dari Hubungan Toksik
Pexels/MART PRODUCTION

Terlepas dari banyaknya kasus KDRT, ada banyak orang beranggapan bahwa korban KDRT akan susah untuk melepaskan diri dari hubungan toksik. Mengejutkannya, hal itu ternyata juga sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan.

Korban yang mengalami kekerasan ternyata memiliki alasan yang berbeda untuk membuat keputusan bertahan di dalam hubungan yang dijalani. Beberapa penelitian pun banyak mengungkap alasan atau motivasi korban untuk tetap bertahan.

Untuk membuktikan hal tersebut, kali ini Popmama.com telah merangkum penelitian soal korban KDRT susah lepas dari hubungan toksik secara lebih detail.

Yuk, disimak!

Kumpulan Penelitian soal Korban KDRT Susah Lepas dari Hubungan Toksik

1. Menurut penelitian Heron, Eisma, dan Browne, para perempuan merasa sayang bila pernikahan bubar hanya karena emosi sesaat

1. Menurut penelitian Heron, Eisma, Browne, para perempuan merasa sayang bila pernikahan bubar ha karena emosi sesaat
Pixabay/StockSnap

Seorang Akademisi Psikologi Zein Permana belum lama ini membahas mengenai penelitian yang mengangkat soal korban KDRT yang memilih untuk bertahan di dalam hubungan. Zein membahas hal tersebut melalui unggahan di Instagram pribadinya.

Pembahasannya tersebut diambil dari sebuah jurnal penelitian R. Heron, M. Eisma, dan K. Browne (2022) berjudul "Why Do Female Domestic Violence Victims Remain in or Leave Abusive Relationships? A Qualitative Study".

Berdasarkan hasil jurnal tersebut, para perempuan yang menjadi partisipan menjawab bahwa sayang sekali bila pernikahan yang dijalaninya bubar hanya karena emosi yang 'mungkin' sesaat. Apalagi bagi mereka menikah itu bukanlah suatu hal mudah.

Dalam unggahannya, Zein menjelaskan, alasan itu juga diperkuat dengan argumen temuan penelitian lain yang salah satunya menunjukkan bahwa korban yakin pelaku akan berubah.

Editors' Pick

2. Hasil penelitian Sichimba, Nakazwe, dan Phiri menunjukkan mayoritas responden perempuan bertahan karena anak-anak dan yakin pasangannya berubah

2. Hasil penelitian Sichimba, Nakazwe, Phiri menunjukkan mayoritas responden perempuan bertahan karena anak-anak yakin pasangan berubah
Pexels/MART PRODUCTION

Penelitian lainnya juga mengungkap alasan dibalik korban KDRT sulit meninggalkan hubungan toksik yang dijalaninya.

Dari hasil penelitian Sichimba, Nakazwe, dan Phiri (2019) dalam jurnal berjudul "Untold Stories of Women Living in Violence: Lived Realities of Why Women Stay: A Case Study of Ngombe and Kanyama Compounds in Lusaka", mayoritas responden perempuan memilih bertahan dalam hubungan karena anak-anak.

Berdasarkan hasil tersebut, para peneliti mengambil kesimpulan bahwa perempuan yang menjadi responden lebih mengutamakan kebahagiaan dan keamanan anak-anak mereka terlebih dahulu ketimbang kebahagiaan dan keselamatan diri sendiri.

"Saya punya anak dengan dia, saya tidak seharusnya pergi."

Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga memilih untuk tetap bertahan karena yakin bahwa pasangannya akan mengubah perilaku dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

"Mungkin di masa depan, dia akan berubah dan kami akan tetap baik-baik saja."

3. Hasil penelitian Estrellado, dan Loh menunjukkan responden bertahan karena masih mencintai pasangannya

3. Hasil penelitian Estrellado, Loh menunjukkan responden bertahan karena masih mencintai pasangannya
Pexels/Văn Thắng

Hasil dari penelitian yang dilakukan Estrellado dan Loh (2014) dalam jurnal "Factors Associated with Battered Filipino Women’s Decision to Stay in or Leave an Abusive Relationship" turut menungkap alasan lain.

Dari hasil penelitian tersebut, responden yang merupakan korban kekerasan tak bisa meninggalkan hubungannya dikarenakan masih adanya perasaan cinta yang dimiliki kepada pasangan.

"Mereka mengatakan saya gila karena saya dilecehkan, namun saya masih mencintainya. Aku tidak bisa meninggalkannya karena aku masih mencintainya."

Para peneliti menemukan, rasa cinta tersebut membuat para perempuan itu menunjukkan sifat-sifat seperti rela berkorban, tunduk, dan pasif.

Sifat inilah yang membuat mereka lebih rentan terhadap pelecehan karena mereka cenderung diam, toleran, dan berkorban terlepas dari rasa sakit yang dialami.

"Saya hanya akan menangis di kamar kami. Aku akan menanggung semua rasa sakit."

4. Penelitian Stephens dan Melton mengungkap responden bertahan dalam hubungan karena anak dan ingin menjaga keutuhan keluarga

4. Penelitian Stephens Melton mengungkap responden bertahan dalam hubungan karena anak ingin menjaga keutuhan keluarga
Pexels/ Agung Pandit Wiguna

Hasil penelitian Stephens dan Melton (2017) dalam jurnal "The Impact of Children on Intimate Partner Abuse Victims' Service-Seeking" mengungkap bahwa responden yang memilih bertahan karena anak tercinta, dan ingin menjaga keutuhan keluarga.

Hal tersebut rupanya ditemukan pada seorang responden perempuan dengan lima anak. Partisipan tersebut tidak ingin anak-anaknya melihat kekerasan. Namun, karena anak-anaknya mencintai papa mereka, ia jadi membuat keputusan untuk tetap tinggal.

"Saya pikir mereka banyak mempengaruhi saya dari masa lalu karena mereka mencintai papa mereka dan dia adalah papa yang baik untuk mereka. Saya selalu berusaha untuk menjaga keluarga saya tetap bersama dan sangat sulit bagi mereka untuk pergi dari dia.

Seperti mereka menangis untuknya dan itu menyakitkan, Anda tahu, tapi saya pikir kali ini itu terlalu buruk. Saya tidak ingin mereka akhirnya melihat kekerasan. Anda tahu, maksud saya, mereka dapat mendengarnya memanggil nama saya dan hal-hal seperti itu, anda tahu, tetapi mereka mencintai papa mereka, dan jadi saya pikir itu banyak alasan kenapa aku tinggal."

5. Menurut penelitian Loke, Wan, dan Hayter, responden bertahan karena merasa tak berdaya dan demi anak

5. Menurut penelitian Loke, Wan, Hayter, responden bertahan karena merasa tak berdaya demi anak
Pexels/Kat Smith

Dalam Heron, Eisma, dan Browne (2022), alasan kedua yang membuat sulitnya korban KDRT melepaskan hubungan toksik karena merasa terjebak dan terperangkap. Hal ini pun bisa dipengaruhi oleh ketidakberdayaan seseorang.

Sebagai informasi, ketidakberdayaan dalam menghadapi sesuatu sering sekali membuat seseorang menjadi merasa lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi hal tersebut. Argumen itu diperkuat oleh penelitian lainnya yang telah dipublikasikan sebelumnya.

Di mana dari hasil penelitian Alice Yuen Loke, Mei Lan Emma Wan, dan Mark Hayter (2012) dalam jurnal berjudul "The Lived Experience of Women Victims of Intimate partner Violence" menunjukkan bahwa responden bertahan karena merasa tidak berdaya.

Tak hanya itu, penelitian ini juga mengungkap bahwa responden tidak memiliki kendali atas kekerasan yang terjadi pada diri mereka. Perasaan tak berdaya ini pun ikut menyebabkan rendahnya harga diri mereka, dan bahkan depresi.

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa mereka yang menjadi korban kekerasan selama bertahun-tahun dan berjuang untuk tetap dalam hubungan memilih bertahan demi anak tercinta.

Menurut para peneliti, hal tersebut dilakukan karena para responden yang terlibat dalam penelitian ini ingin memberi anak yang dicintainya sebuah keluarga.

Jadi, itulah beberapa rangkuman informasi yang membuktikan penelitian soal korban KDRT susah lepas dari hubungan toksik. Bila diamati, hasil penelitian yang sudah dipublikasikan mengungkapkan beragam alasan tersendiri dari para korban KDRT.

Dari rangkuman di atas, kita tentu jadi memahami bahwa posisi mereka sebagai korban KDRT tak mudah.

Berangkat dari beberapa penelitian tersebut, dukungan kepada mereka menjadi hal wajib yang bisa kita berikan agar para korban dapat mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Baca juga:

The Latest