Banyak faktor yang memengaruhi hubungan tidak sehat antara suami istri dalam sebuah rumah tangga. Namun, kadang setiap pasangan tidak banyak mengetahui ciri-ciri jadi hubungan yang tidak sehat.
Banyak suami istri di luar sana bertahan dalam rumah tangga yang toxic atau tidak sehat karena berbagai faktor. Salah satunya yang cukup rumit, yakni berusaha bertahan atas nama cinta. Wajarkah jika sedang berada dalam posisi ini?
Toxic relationship adalah hubungan yang ditandai dengan perilaku tidak sehat secara emosional, psikologi, fisik dalam sebuah hubungan rumah tangga. Toxic relationship ini ditandai dengan ketidakamanan, egoisme, dominasi hingga kontrol dari satu pihak ke pihak lainnya. Kondisi tersebut yang membuat sebuah hubungan menjadi tidak sehat, bahkan suami istri menjadi tidak harmonis.
Lewat webinar berjudul "Toxic Relationshop: Wajahkah Bertahan atas Nama Cinta?" yang diadakan oleh Popmama.com pada Jumat (19/3/2021), Rena Masri,S.Psi,M.Si,Psikologmenjelaskan bahwa banyak sekali jenis-jenis toxic relationship dalam suatu rumah tangga.
"Kekerasan ada banyak macamnya, selain fisik ada juga verbal, psikologis, seksual hingga finansial. Jadi ada berbagai macam, jadi jangan hanya fokus ke kekerasan fisik saja," jelas Rena.
Berikut Popmama.com rangkum informasi lengkap mengenai toxic relationship dalam rumah tangga, sekaligus alasan wajar atau tidaknya untuk bertahan.
Cinta pada Dasarnya Adalah Suatu Perasaan Positif
Dok. Popmama
Cinta adalah perasaan yang positif perasaan yang positif dan diberikan pada manusia atau benda lainnya, bahkan ini bisa dialami oleh semua orang. Jadi jika melihat ada berbagai macam cinta yang berbeda. Rena sebagai seorang psikolog klinis menyebut jika cinta landasannya adalah kasih dan sayang.
"Definisi cinta itu sendiri, kalau kita baca literatur, cinta itu adalah emosi kasih sayang. Jadi adanya cinta ini bukan hal yang buruk, tetapi adalah hal yang positif," ujar Rena saat sesi webinar.
Cinta ini pada dasarnya tidak hanya untuk sesama manusia, melainkan lebih universal. Perlu diingat bahwa cinta bisa dirasakan kepada benda atau binatang lain yang dianggap penting bagi seseorang tersebut.
Editors' Pick
2. Ada Tiga Komponen dalam Cinta yang Penting Diketahui
Pexels/alex-green
Jika melihat teori Stenberg tentang segitiga cinta, terdiri dari tiga komponen yakni ada commitment (komitmen), intimacy (kemesraan), passion (gairah). Menurut Rena, ketiga komponen ini harus ada dalam hubungan pasangan suami istri.
"Jadi sesuatu itu dikatakan cinta kalau ada tiga hal ini. Terutama ini dalam pasangan. Apa sih tiga ini? Pertama, commitment yaitu keputusan kita untuk mencintai pasangan kita, kita suka dan sayang. Kita memutuskan untuk terus berusaha mencintainya sampai kapan saja," jelas Rena.
Lalu ada intimacy yang merupakan perasaan dekat, sayang yang muncul dengan pasangan. Ini bisa lebih attachment kuat, merasa nyaman di dekat pasangan. Terakhir, ada passion yang biasanya mengarah kepada dorongan seksual bersama pasangan. Contohnya berdekatan dengan pasangan akan ada dorongan ini.
"Walaupun presentasenya berbeda antara pasangan atau bisa berubah, tetapi pada dasarnya tetap memiliki 3 komponen ini," pungkasnya.
Wajarkah Bertahan Atas Nama Cinta dalam Hubungan Rumah Tangga yang Toxic?
Pexels/alex-green
Pasangan suami istri tentu ingin kehidupan pernikahannya dalam keadaan yang baik-baik saja.
Jadi, jika memang Mama atau Papa membuat sebuah review hubungan dengan pasangan berdasarkan tiga komponen cinta di atas bisa dilakukan, apakah sehat atau tidak? Jadi wajarkah bertahan dalam hubungan atas nama cinta apabila terjadi toxic relationship?
"Kalau memang mau memperbaiki menurut saya masih bisa dipertahankan. Namun, kalau misalnya sepihak atau tidak mau alangkah baiknya pertimbangkan untuk berpisah," tutur Rena.
Sebagai founder Cinta Setara, Rena menegaskan bahwa jika memang rasa di balik cinta ini susah untuk didefinisikan. Apalagi jika pasangan sudah memiliki anak, tetapi menurutnya kita juga tidak boleh mengorbankan diri kita untuk disakiti orang lain.
"Jadi menurut saya cinta dan akal sehat penting sekali untuk dipahami, sehingga kita juga nggak kaget. Pernikahan bahagia pun perlu diusahakan agar kita bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak," tegas Rena.
Cerita Haru Mama yang Bergabung dalam Webinar Bertema Toxic Relationship
Dok. Popmama
Dalam webinar yang berlangsung selama 2 jam tersebut, ada beberapa Mama yang menceritakan kisahnya sekaligus meminta solusi yang bisa dilakukan sekarang. Kisah pertama, seorang Mama menceritakan bagaimana dulu suaminya sempat berlaku kasar kepadanya.
Mama tersebut akhirnya bercerai dari suaminya. Perlakuan kasar dari suaminya tersebut juga berdampak kepada psikis anak-anaknya. Anak pertamnya bahkan sempat trauma hingga tidak mau menikah. Akibat kejadian itu juga, Mama tersebut trauma untuk move on dan memulai kehidupan baru.
"Jika ada trauma sebenarnya butuh pendampingan dari ahli agar diketahui akar-akar masalahnya. Jika mempengaruhi kepercayaan diri, pertama kita cari tahu kemampuan kita apa sehingga pada suatu titik merasa mampu. Lalu, masuk ke lingkungan yang suportif. Ini penting bagaimana kita berada di lingkungan yang berharga dan kita merasa di sayang," jelas Rena.
Lalu, cerita kedua datang dari Mama yang dulu punya latar belakang menikah muda. Saat itu sang Suami berumur 19 tahun dan masih sering mengontak perempuan lain di ponselnya. Ada juga kejadian kedua, yakni ketika mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KRDT) dari sang Suami. Namun, saat itu Mama ini masih memilih bertahan.
Untungnya, ia terpikir untuk konseling dan curhat kepada Komnas Perempuan di sebuah wilayah sehingga diberi pertolongan. Sang Suami yang diceritakan oleh Mama ini mulai berubah saat pulang dari beribadah dari Mekkah. Meskipun saat ini diakuinya kalau sang Suami marah masih suka berteriak-teriak sampai banting barang.
"Memberi kesempatan kedua kepada pasangan itu melihat reaksi dari pasangan kita. Misalnya, kita melihat perubahan dia pada kesempatan pertama. Misalnya, masalah perselingkuhan, oh ternyata dia nggak selingkuh lagi, nggak chat lagi berarti bisa dilanjutkan. Namun, kalau kedua, sebenarnya bergantung ke setiap pasangan. Tapi ini sudah mulai dipertanyakan apakah pasangannya serius untuk berubah atau tidak? Kalau misalnya kita melihat juga ragu, ya kita juga harus tegas," jelas Rena.
Permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi sebaiknya harus diantisipasi. Agar bisa langsung ditanggulangi. Menurut Rena, penting sekali menyadari bagaimana kita bisa melihat tanda-tanda sebagai warning agar tidak menciptakan hubungan yang tidak sehat ke depannya.
Untuk Mama yang sedang terjebak dalam toxic relationship semoga bisa mendapatkan titik terang, sehingga bisa menyelesaikan permasalahan yang ada dengan baik.