Waspadai Atonia Uteri: Otot Rahim Tak Kontraksi dan Memicu Perdarahan
Jika tak segera diatasi, atonia rahim bisa mengancam nyawa juga
10 Februari 2022
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sesaat setelah persalinan berhasil dilakukan, otot rahim seharusnya berkontraksi untuk mengeluarkan plasenta yang berada di dalam rahim. Kontraksi ini wajar terjadi untuk menekan pembuluh darah dan mencegah terjadinya perdarahan.
Namun apabila yang terjadi justru tidak cukup kuat kontraksi, pembuluh darah pun akan mengeluarkan banyak darah dan mengakibatkan perdarahan. Kondisi ini dikenal sebagai atonia uteri atau uterine atony. Jika tidak segera diatasi, kondisi ini juga bisa membahayakan nyawa ibu.
Dirangkum Popmama.com dari berbagai sumber, berikut informasinya untuk Mama:
1. Apa itu atonia rahim?
Dalam istilah medis, atonia uteri adalah ketika kontraksi pada otot rahim menghilang. Kondisi ini salah satunya bisa terjadi setelah proses melahirkan.
Pada proses tersebut, otot rahim seharusnya berkontraksi menekan pembuluh darah dan mengurangi aliran darah. Hal ini pada akhirnya membantu pembekuan darah dan mencegah perdarahan terjadi.
Namun apabila yang terjadi justru otot rahim gagal berkontraksi alias atonia uteri, darah terus mengalir keluar dan terjadilah perdarahan. Dikutip dari Parenting First Cry, 75 hingga 80 persen kasus perdarahan pascapersalinan diakibatkan oleh atonia uteri.
Editors' Pick
2. Penyebab atonia uteri
Ada banyak faktor yang dapat membuat otot rahim gagal berkontraksi setelah persalinan. Beberapa penyebab paling umum dari atonia uteri di antaranya:
- Persalinan lama atau persalinan tertunda
- Pembesaran rahim karena adanya kelebihan cairan ketuban (polihidramnion) atau bayi yang berukuran besar
- Pemberian oksitosin, anestesi umum atau obat lain selama persalinan
- Proses induksi persalinan menggunakan obat
Selain itu, ada beberapa kondisi lain yang juga dapat meningkatkan risiko terjadinya atonia uterus. Termasuk yaitu kehamilan bayi kembar, riwayat melahirkan sebelumnya lebih dari 2-3 kali, persalinan dibantu menggunakan forsep atau vakum. Usia di atas 35 tahun dan kegemukan juga secara medis disebutkan memiliki risiko lebih besar untuk atonia uteri.
3. Tanda dan gejala atonia uteri
Gejala atonia uteri yang paling umum dan terpenting adalah ketika rahim tetap dalam kondisi rileks dan tidak berkontraksi setelah melahirkan. Tanda dan gejala lain dari atonia uteri yang juga perlu Mama waspadai di antaranya pendarahan tidak terkendali dan berlebihan.
Perhatikan juga adanya penurunan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung, ini bisa menjadi pertanda adanya aliran darah yang tidak normal.
4. Diagnosis atonia uteri
Atonia uteri didiagnosis ketika rahim tampak lunak, rileks, dan ada kelebihan pendarahan pasca melahirkan bayi. Dokter mungkin dapat memperkirakan kehilangan darah dengan menghitung jumlah pembalut yang digunakan oleh Mama.
Pemeriksaan fisik oleh dokter juga akan membantu mengesampingkan penyebab lain dari pendarahan seperti robekan pada serviks. Oleh sebab itu, informasi seperti hitungan denyut nadi, tekanan darah, hitungan sel darah merah dan faktor-faktor pembekuan darah pun harus terus dipantau.
5. Komplikasi dan tindakan perawatan atonia uteri
Selain dari perdarahan, ada juga beberapa komplikasi lain dari atonia uteri yang perlu diperhatikan oleh Mama. Misalnya seperti pusing, tubuh terasa lemas, anemia dan tidak bisa beraktivitas.
Jangan anggap sepele, anemia atau kelelahan setelah kelahiran meningkatkan kemungkinan seorang ibu mengalami depresi pascapersalinan. Kehilangan darah yang tidak terkontrol dan berlebihan dari yang normal juga dapat menyebabkan syok hemoragik.
Bahkan jika kehilangan darah tidak dipantau dengan baik, situasi seperti ini juga bisa membahayakan nyawa Mama.
Tindakan pertama yang perlu dilakukan yakni menghentikan pendarahan dan mengganti darah yang telah hilang. Umumnya Mama akan diberikan cairan infus intravena (IV) dan transfusi darah jika perlu.
Perawatan lain termasuk pijat rahim, yakni dokter menempatkan satu tangan di vagina untuk mendorong rahim dengan tangan lainnya di atas dinding perut menekan rahim.
Obat-obatan juga mungkin akan diberikan, termasuk seperti oksitosin, metilergonovin, dan prostaglandin.
Dalam kasus di mana kondisinya parah, tindakan lain yang mungkin juga akan dilakukan yakni operasi untuk ‘mengikat’ pembuluh darah. Bisa juga dilakukan embolisasi arteri uteri atau uterine artery embolization, yakni dengan menyuntikkan partikel kecil ke dalam arteri uteri untuk menghambat aliran darah ke rahim.
Jika semua tindakan ini gagal, kemungkinan bisa juga dilakukan histerektomi atau pengangkatan rahim. Semua tindakan ini diputuskan oleh dokter berdasarkan situasi yang terjadi.
Demikian informasi penting tentang atonia uteri yang perlu Mama waspadai. Jangan ragu untuk berdiskusi dengan dokter juga tentang hal ini, ya.
Baca juga:
- Polip Rahim pada Ibu Hamil: Penyebab, Komplikasi, dan Pengobatan
- 7 Pilihan Jus Buah yang Ampuh Meningkatkan Kesuburan Rahim
- Inilah Doa Nabi Ibrahim saat Dibakar dan Kisah Hidupnya