Gangguan Mental Mama Bisa Membuat Anak Stunting
Agar anak terhindar dari Stunting, kontrol kesehatan mental mama pasca melahirkan
16 Juli 2023
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Beberapa tahun belakangan timbul pernyataan bahwa gangguan mental pada Mama bisa menimbulkan risiko terjadinya stunting pada anak.
Stunting merupakan suatu kondisi di mana pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif pada anak terganggu. Salah satu tanda fisikya adalah tinggi badan anak lebih pendek dari seusianya.
Pernyataan tersebut akhirnya menimbulkan kekhawatiran dalam dunia medis. Salah satu Ketua Komunitas Wanita Indonesia Keren (WIK), Maria Stefani Ekowati mengatakan bahwa anak menjadi stunting tidak hanya disebabkan oleh faktor fisik semata saja.
Kondisi tersebut menyebabkan adanya gangguan mental yang menyebabkan ketidakbahagiaan seorang Mama dalam mengasuh bayinya.
Namun, penting juga untuk menggali lebih dalam dan memeriksa fakta sebelum mengambil kesimpulan.
Jadi, seperti apa kebenarannya di balik penyebab anak menjadi stunting? Simak penjelasan Popmama.com di bawah ini!
Editors' Pick
1. Benarkah gangguan mental pada Mama dapat membuat anak stunting?
Biasanya, stunting terjadi pada masa pertumbuhan awal, terutama pada anak-anak di bawah usia lima tahun.
Mengenai pernyataan gangguan mental pada Mama dapat menyebabkan anak stunting, Maria Stefani Ekowati selaku Ketua Komunitas Wanita Indonesia Keren (WIK) menuturkan bahwa hal gangguan mental pada Mama berdampak pada tumbuh kembang anak, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
“Kondisi stress postpartum (depresi yang terjadi setelah melahirkan) dan baby blues (perubahan suasana hati setelah melahirkan) seorang ibu menyebabkan depresi panjang yang berpengaruh terhadap bayinya,” tutur Maria dalam keterangan resmi BKKBN di Jakarta, Senin (19/6/23).
2. Para Mama di Indonesia mengalami gejala baby blues
Berdasarkan sebuah penelitian skala nasional, Maria memaparkan sebanyak 50 hingga 70 persen Mama di Indonesia mengalami gejala baby blues antara minimal hingga sedang.
Hal ini merupakan angka tertinggi ketiga di Asia.
“Penelitian HCC (Health Collaborative Center) di Pekan ASI se-Dunia tahun 2022 lalu membuktikan enam dari sepuluh ibu menyusui di Indonesia tidak bahagia,” lanjutnya.
Lanjut, Maria mengatakan dari penelitian yang dilakukan pada 2020 lalu, sebesar 32 persen Mama yang sedang hamil mengalami depresi dan 27 persen depresi postpartum.
Demikian juga penelitian di Lampung, terdapat data sebanyak 25 persen mengalami gangguan depresi setelah melahirkan.
“Itu sebabnya kami meyakini perlu adanya model promosi kesehatan mental di komunitas dan secara strategis model ini diimplementasikan di tingkat posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan Tim Pendamping Keluarga,” lanjut Maria.