Cara Pengajuan Gugatan Cerai pada Suami saat Istri Hamil
Berbagai hal penting yang perlu diperhatikan saat akan mengajukan gugatan cerai saat hamil
26 Mei 2023
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Di dalam sebuah pernikahan, setiap pasangan tentu saja memiliki pengalaman yang berbeda. Beberapa pasangan mungkin bisa saja belajar dan terus membangun pernikahan mereka. Namun, beberapa pasangan justru harus berakhir dengan perceraian.
Namun, sebelum memutuskan untuk berpisah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama jika istri dalam kondisi mengandung. Apakah hal ini melanggar aturan hukum dan agama?
Apa saja yang perlu dipersiapkan saat akan mengajukan cerai? Bagaimana dengan hak asuh anak di dalam kandungan ketika harus berpisah di masa kehamilan?
Nah, berikut Popmama.com rangkum cara pengajuan gugatan cerai pada suami saat istri hamil. Simak di sini!
1. Hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mengajukan gugatan cerai
Saat akan memutuskan untuk mengajukan cerai, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dengan matang. Dengan demikian, pada akhirnya keputusan ini tidak akan diambill dengan penyesalan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti:
- Kerugian apa yang akan dialami setelah berpisah dengan suami. Kerugian di sini tak hanya berbicara tentang kemampuan finansial, tetapi juga hubungan sosial yang merenggang.
- Apakah benar akan lebih bahagia setelah bercerai? Cobalah untuk memikirkan apakah perceraian menjadi satu-satunya pilhan atau tidak. Apakah dengan berpisah masalah akan berkurang dan lebih bahagia?
- Dampak perceraian pada anak. Ada banyak pengalaman yang bisa menjadi pelajaran sebelum memutuskan untuk berpisah. Terutama bagaimana kondisi anak setelah berpisah dan apa yang perlu dipersiapkan agar kondisi psikis anak tidak terganggu.
- Usaha kedua belah pihak sudah maksimal atau tidak. Sebelum memutuskan untuk berpisah, apakah kedua belah pihak sudah berusaha memperbaiki diri dan mengatasi masalah yang dihadapi secara maksimal. Dengan demikian keduanya tidak akan menyesal di masa depan.
2. Alasan pengajuan cerai yang diizinkan di Indonesia
Pada UU Perkawinan pasal 39 ayat 2, disebutkan bahwa perceraian boleh diajukan oleh istri kepada suami atau sebaliknya dengan berlandaskan pada 6 alasan, yaitu:
- Pasangan terbukti berbuat zina, atau memiliki kebiasaan mabuk-mabukan, berjudi, mengonsumsi narkoba, atau tindakan lain yang dianggap sulit untuk disembuhkan.
- Pasangan pergi selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dengan tanpa disertai alasan atau penyebab lain yang diluar kehendaknya.
- Pasangan terbukti melakukan kejahatan dan memperoleh hukuman penjara 5 tahun atau lebih.
- Pasangan melakukan tindakan penganiayaan berat atau kejam yang membahayakan nyawa.
- Pasangan memperoleh cacat tubuh atau penyakit yang membuat dirinya tidak bisa menjalankan kewajiban.
- Terjadi perselisihan antara suami dengan istri yang sulit untuk diselesaikan sehingga keduanya tak bisa hidup rukun dalam rumah tangga.
Namun, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada 8 alasan yang dapat dipakai sebagai landasan pengajuan gugatan cerai oleh suami atau istri kepada pasangannya. Dua alasan tambahan lainnya adalah:
- Terjadi pelanggaran taklik talak oleh suami
- Salah satu pasangan memilih untuk pindah agama atau murtad yang berujung pada ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Editors' Pick
3. Beberapa masalah umum penyebab perceraian
Dalam setiap pengajuan perceraian, tentu saja ada berbagai masalah yang memicunya. Namun, secara umum nyatanya terdapat tujuh masalah umum dalam rumah tangga yang kerap memicu perceraian, seperti:
- Pembagian tugas merawat anak.
- Komunikasi yang buruk.
- Kehidupan seksual yang tidak intim.
- Media sosial.
- Perubahan sikap pasangan.
- Egois.
- Perbedaan sudut pandang cinta.
4. Jika dalam kondisi hamil, apakah cerai diperbolehkan?
Terkadang, beberapa pasangan harus menghadapi masalah ini di saat mereka tengah menantikan kelahiran seorang anak. Lalu, jika ini terjadi apakah perceraian diizinkan untuk dilakukan? Bagaimana dari sudut pandang agama?
Faktanya, dalam agama Islam mayoritas ulama, termasuk di antaranya adalah ulama dari mazhab Syafi’i, melakukan perceraian ketika istri dalam kondisi hamil tidak melanggar aturan agama.
Salah satu hadis dalam agama Islam mengatur tentang adanya larangan menceraikan istri ketika dalam kondisi haid. Sehingga, bercerai dalam keadaan hamil tidak menjadi masalah.
“Dari Ibnu Umar RA bahwa ia pernah menalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Khatthab RA menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi. Lantas beliau pun berkata kepada Umar bin Khatthab RA, ‘Perintah kepada dia (Ibnu Umar RA) untuk kembali kepada istrinya, baru kemudian talaklah dia dalam keadaan suci atau hamil,” (HR Muslim).
Namun, perlu dicatat bahwa meski telah bercerai dan menjalani masa iddah, seorang perempuan masih tetap menjadi tanggungan dari mantan suaminya. Masa iddah bagi perempuan hamil berlangsung hingga proses kelahiran bayi. Selama masa iddah, perempuan berhak untuk memperoleh tempat tinggal, nafkah, serta pakaian dari mantan suaminya.
5. Bagaimana dengan status bayi di dalam kandungan?
Setelah mengajukan perceraian di masa kehamilan, bagaimana dengan status bayi yang ada di dalam kandungan? Apakah hak asuh calon bayi secara otomatis akan diberikan pada istri?
Berdasarkan Pasal 28 UU Perkawinan, perceraian tidak membuat hubungan antara mantan pasangan suami istri dan anak yang dihasilkan dari perkawinan terputus. Aturan serupa juga terdapat pada Pasal 75 KHI.
Terkait status janin di dalam kandungan, orangtua juga bisa merujuk pada Pasal 2 KUHPerdata yakni, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak mengehandakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada."
Dengan landasan aturan tersebut, maka janin yang ada dalam kandungan, memiliki hak yang sama dengan anak yang telah lahir. Ketika kelak bayi lahir, hak asuh biasanya berada di tangan istri. Aturan terkait pemberian hak asuh untuk anak yang belum dewasa ini bisa dijumpai baik di UU Perkawinan serta KHI.
6. Cara pengajuan gugatan cerai pada suami saat istri hamil
Untuk istri yang ingin mengajukan cerai pada suami saat hamil, setelah mempertimbangkan berbagai hal dan memiliki alasan yang kuat untuk bercerai bisa langsung mengajukan perceraian ke pengadilan agama atau pengadilan negeri.
Dalam gugatan tersebut, istri tidak perlu memiliki persetujuan dari pihak pasangan. Jika keduanya tinggal di wilayah yang sama, pengajuan cerai bisa dilakukan di pengadilan agama atau pengadilan negeri wilayah hukum tergugat.
Namun, jika keduanya tinggal berbeda kota maka pengajuan gugatan cerai tersebut dilakukan di pengadilan agama atau pengadilan negeri di kota tempat suami berada.
Jika kedua belah pihak berada di luar negeri, maka istri dapat memilih mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan tempat pelaksanaan perkawinan. Selain itu, istri juga bisa mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
7. Beragam dokumen yang perlu dipersiapkan
Untuk pengajuan perceraian, terdapat beberapa dokumen yang perlu dipersiapkan dan diserahkan ke pengadilan agama atau pengadilan negeri, seperti:
- Surat Nikah asli
- Fotokopi Surat Nikah sebanyak 2 lembar yang telah bermaterai dan legalisir
- Fotokopi Akta Kelahiran anak (kalau memiliki anak) lengkap dengan materai dan legalisir
- Fotokopi KTP penggugat
- Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
Selain itu, dalam masalah ini umumnya terdapat masalah hak harta bersama. Jika demikian, penggugat perlu melampirkan syarat tambahan, di antaranya adalah:
- Sertifikat tanah
- Surat Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)
- Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK)
- Kwitansi transaksi jual beli
- Dan lain-lain
Jika pengajuan diterima oleh pihak pengadilan, maka penggugat perlu menunggu sekitar antara 3-6 bulan. Walaupun hal ini diizinkan di beberapa agama, namun ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan secara matang sebelum memutuskannya.
Nah, itulah tadi rangkuman cara pengajuan gugatan cerai pada suami saat istri hamil. Semoga membantu!
Baca juga: