Benarkah Konsumsi Makanan Olahan saat Hamil Berisiko Bayi Autis?
Makanan olahan mengandung banyak gula, garam, lemak, dan bahan kimia lain
21 Februari 2021
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makanan olahan sering menjadi pilihan untuk dikonsumsi karena praktis dan menghemat waktu dalam menyiapkannya. Ini merupakan jenis makanan yang telah diolah, kemudian dikemas di kaleng atau plastik dalam bentuk beku, kering, atau dipanggang.
Kita semua mengetahui bahwa mengonsumsi makanan olahan secara berlebihan dapat menimbulkan masalah kesehatan.
Bahkan sebuah penelitian mengungkapkan adanya hubungan antara konsumsi makanan olahan saat hamil dengan risiko bayi mengalami autisme.
Popmama.com akan membahas lebih lanjut mengenai hasil penelitiannya pada ulasan berikut ini.
Apa Itu Makanan Olahan (Processed Food)?
Makanan olahan adalah makanan yang telah diolah, biasanya dikemas di dalam kaleng atau plastik, dibekukan, dipanggang, atau dikeringkan.
Makanan jenis ini dapat dengan mudah ditemukan di supermarket. Selain rasanya enak, makanan olahan praktis dan tidak membutuhkan waktu banyak untuk menyiapkannya.
Macam-macam makanan olahan seperti sereal, sosis, nugget, biskuit, mie instan, dan masih banyak lagi.
Mengonsumsi makanan olahan secara berlebihan dapat menimbulkan risiko kesehatan. Bahkan sebuah penelitian mengungkapkan adanya hubungan antara makanan olahan yang dikonsumsi ibu saat hamil dengan risiko bayi mengalami autisme.
Editors' Pick
Penelitian Tentang Hubungan Konsumsi Makanan Olahan dengan Risiko Bayi Mengalami Autisme
Karena semakin banyak anak yang didiagnosis autisme, beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara makanan yang dikonsumsi ibu hamil selama kehamilan dan pengaruhnya terhadap perkembangan otak janin.
Secara khusus, para peneliti di University of Central Florida mengungkapkan bahwa makanan olahan yang dikonsumsi ibu selama hamil dapat meningkatkan kemungkinan bayi mengalami autisme.
Penulis penelitian mengidentifikasi perubahan molekuler yang terjadi saat sel induk saraf terpapar asam propionat (PPA) tingkat tinggi. Asam ini biasa ditemukan dalam makanan olahan. PPA digunakan untuk mencegah pembentukan jamur dan meningkatkan umur simpan makanan kemasan, seperti keju olahan dan roti. Para ilmuwan mengatakan tingkat PPA yang tinggi juga dapat mengurangi perkembangan neuron di otak janin.
Dr. Saleh Naser, yang berspesialisasi dalam penelitian gastroenterologi di sekolah Ilmu Biomedis Burnett College of Medicine, memulai penelitian setelah laporan menunjukkan bahwa anak dengan autisme sering menderita masalah lambung, seperti sindrom iritasi usus besar. Naser kemudian mempertimbangkan kemungkinan hubungan antara usus dan otak, dan mulai meneliti bagaimana bakteri usus berbeda antara orang dengan autisme dan mereka yang tidak memiliki kondisi tersebut.
Dari hasil penelitian, PPA merusak sel-sel otak dengan beberapa cara sebagai berikut:
- Pertama, asam mengganggu keseimbangan alami antara sel-sel otak, dengan mengurangi jumlah neuron dan produksi sel glial yang berlebihan. Meskipun sel glial membantu mengembangkan dan melindungi fungsi neuron, terlalu banyak sel glial yang mengganggu konektivitas antar neuron dan menyebabkan peradangan, yang telah dicatat pada otak anak dengan autisme.
- Jumlah PPA yang berlebihan juga memperpendek dan merusak jalur yang digunakan neuron untuk berkomunikasi dengan seluruh tubuh. Kombinasi dari neuron yang berkurang dan jalur yang rusak mengganggu kemampuan otak untuk berkomunikasi. Ini mengakibatkan perilaku yang sering ditunjukkan oleh anak-anak dengan autisme, termasuk perilaku berulang, masalah mobilitas, dan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Tentu saja, lebih banyak penelitian perlu dilakukan sebelum menarik kesimpulan klinis apa pun. Selanjutnya, tim peneliti berharap untuk memvalidasi temuannya, dengan menguji model tikus untuk melihat apakah diet ibu PPA yang tinggi menyebabkan autisme pada tikus yang secara genetik cenderung mengalami kondisi tersebut.