Pembekuan Jaringan Ovarium atau Pembekuan Sel Telur, Lebih Baik Mana?
Sebelum memutuskan untuk memilih, ketahui dulu serba-serbinya
14 Maret 2021
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Memiliki anak bisa menjadi hal yang rumit jika dilakukan di waktu yang tidak tepat. Seiring bertambahnya usia, kualitas sel telur juga akan mengalami penurunan sehingga memengaruhi kesuburan.
Untungnya, para ilmuwan berhasil mengembangkan teknologi canggih untuk mengatasi hal ini. Beberapa yang cukup dikenal adalah metode pembekuan jaringan ovarium dan pembekuan sel telur.
Metode pembekuan sel telur lebih dulu lahir dan awalnya bukan dianggap sebagai solusi. Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak generasi millennial yang memilih metode ini.
Sayangnya, cara ini tak selalu efektif terutama jika yang bersangkutan memiliki masalah kesehatan. Alhasil, para ahli pun mengembangkan metode baru, yaitu dengan cara membekukan jaringan ovarium.
Sebagian besar orang beranggapan bahwa metode pembekuan jaringan ovarium dianggap lebih baik dari preservasi sel telur. Padahal faktanya, keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Sebelum memutuskan, kamu harus lebih dulu memahami seluk beluknya. Berikut ini Popmama.com merangkum penjelasan tentang perbedaan pembekuan jaringan ovarium dengan pembekuan sel telur.
Editors' Pick
1. Pembekuan sel telur
Sistem reproduksi yang bagus tidak selalu menjamin seseorang bisa mendapatkan keturunan dengan mudah. Masalah terbesar yang dihadapi kebanyakan orang adalah mereka memilih memiliki anak di usia yang tidak tepat.
Waktu terbaik untuk mendapatkan keturunan adalah di awal usia 20an hingga pertengahan 30an karena pada masa itu sel telur perempuan dalam kondisi paling subur.
Sayangnya tidak semua perempuan punya kesempatan untuk memiliki anak pada usia tersebut. Berbagai alasan, misalnya alasan karir, kesehatan, kesiapan mental, bahkan ketiadaan pasangan akan memaksa seseorang untuk menunda kehamilan.
Hingga akhirnya, masa emas untuk mendapatkan keturunan pun terlewatkan. Namun kita patut berterima kasih pada para ilmuwan yang telah mengembangkan metode pembekuan sel telur.
Metode ini tidak bisa dikatakan mudah karena pasien harus menjalani berbagai tes, suntik hormon, dan perawatan sebelum pengambilan sel telur dilakukan. Baru setelah didapatkan sampel yang tepat, kumpulan sel telur akan dibekukan hingga pemiliknya siap untuk memiliki anak.
Pada tahun 2015, studi mengungkapkan bahwa persentase keberhasilan metode ini mencapai 43 persen. Alhasil, banyak perempuan muda yang memilih melakukan pembekuan sel telur di masa produktif.
Sembari menunggu waktu tepat untuk memiliki anak, mereka bisa fokus mengejar karir atau mencari pasangan yang tepat.
2. Pembekuan jaringan ovarium
Pembekuan sel telur awalnya memang dianggap sebagai solusi. Namun belakangan, cara ini ternyata terbukti tidak efektif untuk perempuan yang memiliki masalah kesehatan pada saat merencanakan kehamilan.
Sesubur apapun sel telur, semuanya akan sia-sia jika saat tubuh tidak siap mengandung janin. Saat masalah ini menjadi dilema, pembekuan jaringan ovarium pun muncul.
Bukan mengumpulkan dan membekukan sel telur dalam wadah, metode ini adalah teknik eksperimental yang melibatkan pembekuan dan penyimpanan jaringan dari korteks ovarium.
Jaringan yang disimpan tersebut berisi sel telur yang belum berkembang. Jika nanti perempuan sudah siap hamil, maka jaringan akan diimplankan kembali kepada pemiliknya.
Hasilnya ternyata cukup memuaskan dengan persentase keberhasilan mencapai 37 persen. Walau angka kesuksesannya lebih rendah dari pembekuan sel telur, namun metode ini diklaim lebih adaptif terhadap kondisi tubuh.
Walaupun sistem reproduksi sudah mengalami penurunan, namun jaringan yang diimplan akan tetap dalam kondisi seperti sebelum dibekukan. Bahkan perempuan yang sudah menopause bisa tetap hamil karena cara ini bisa membantu restore kesuburan.
Meski demikian, pembekuan jaringan ovarium juga masih memiliki kelemahan. Seorang spesialis kesuburan dari California bernama Dr. Aimee Eyvazzadeh mengungkapkan bahwa jaringan ovarium yang tersimpan memiliki masa kadaluarsa hanya selama dua tahun. Jika melebihi batas waktu, maka jaringan akan rusak.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan juga sangat mahal, yaitu kurang lebih Rp280 juta. Bayangkan jika kamu mengeluarkan uang sekian banyak namun ternyata gagal merencanakan kehamilan dalam waktu kurang dari dua tahun. Belum lagi risiko kegagalan yang masih sangat mungkin terjadi.