5 Hukum Bayi Tabung Menurut Islam, Masih Menjadi Pro Kontra
Apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak?
21 September 2024
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bayi tabung atau dikenal juga sebagai pembuahan in vitro merupakan teknik pembuahan atau inseminasi yakni pembuahan sel telur di bagian luar tubuh perempuan.
Program yang satu ini merupakan metode yang dilakukan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kesuburan atau tidak bisa memperoleh keturunan saat berbagai metode lain tidak berhasil untuk dilakukan.
Meski kini program bayi tabung sedang marak dilakukan oleh pasangan suami istri yang sulit memiliki keturunan, namun sebenarnya kegiatan yang satu ini masih menjadi pro kontra dalam Islam.
Nah, agar tak salah langkah, berikut Popmama.com telah merangkum hukum bayi tabung dalam Islam.
1. Mendatangkan pihak ketiga sehingga haram
Metode bayi tabung dan inseminasi yang mempergunakan pihak ketiga selain dari suami dan istri dalam memanfaatkan sperma, sel telur atau rahim hukumnya haram dalam Islam.
Hal tersebut telah disetujui oleh para ulama mu’ashirin. Nadwah Al Injab fi Dhouil Islam yang merupakan sebuah musyawarah para ulama di Kuwait 11 sya’ban 1403 H, atau tepatnya pada 23 Maret tahun 1983 sudah berdiskusi mengenai bayi tabung ini dan menghasilkan keputusan.
Musyawarah ini menghasilkan keputusan bahwa bayi tabung hukumnya diperbolehkan secara syar’i apabila dilakukan oleh suami dan istri yang masih mempunyai ikatan suami istri dan bisa dipastikan jika tidak terdapat campur tangan nasab lainnya.
Akan tetapi, sebagian para ulama juga bersikap hati-hati dan tetap tidak memperbolehkan supaya tidak terjadi perbuatan yang terlarang.
Kendati demikian, akhirnya para ulama membulatkan kesepakatan jika hukum bayi tabung adalah haram apabila terdapat pihak ketiga yang ikut andil dalam mendonorkan sperma, sel telur, janin atau pun rahim.
Editors' Pick
2. Bayi tabung pada masa ‘iddah hukumnya haram
Apabila metode yang dilakukan yakni bayi tabung dan inseminasi sesudah wafat sang Suami, maka para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dan tetap mengharamkannya.
Pasalnya, sang Suami yang memiliki sperma sudah wafat sehingga pernikahan pun juga sudah berakhir. Jika masa inseminasi tetap dilakukan pada masa ‘iddah, maka hal tersebut menjadi pelanggaran.
Keputusan itu juga sudah disetujui oleh para ulama MUI dalam fatwanya.
"Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan," tulis fatwa tersebut.
3. Diperbolehkan dalam ikatan suami dan istri
Apabila inseminasi buatan atau bayi tabung dilakukan saat masih berada dalam ikatan suami istri, maka metode tersebut diperbolehkan oleh kebanyakan ulama kontemporer sekarang ini.
Namun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yakni:
- Dilaksanakan atas ridho suami dan istri.
- Inseminasi akan dilaksanakan saat masih berada dalam status suami istri.
- Dilaksanakan sebab keadaan yang darurat supaya bisa hamil.
- Perkiraan dari dokter yang kemungkinan besar akan memberikan hasil dengan cara memakai metode tersebut.
- Aurat perempuan hanya diperkenankan dibuka saat keadaan darurat dan tidak lebih dari keadaan darurat.
- Tenaga medis yang melakukan metode tersebut adalah dokter perempuan atau muslimah apabila memungkinkan. Namun jika tidak, maka dilakukan oleh dokter perempuan non muslim. Cara lain adalah dilakukan oleh dokter laki-laki muslim yang sudah bisa dipercaya dan jika tidak ada pilihan lain maka dilakukan oleh dokter non muslim laki-laki.
4. Bayi tabung dengan jenis kelamin sesuai keinginan
Inseminasi buatan atau bayi tabung dilakukan untuk menghasilkan anak dengan jenis kelamin yang sesuai dengan keinginan memiliki dua rincian, antara lain:
- Memiliki tujuan untuk menyelamatkan penyakit turunan
Memilih jenis kelamin bayi tabung sesuai keinginan bisa dilakukan apabila tujuannya untuk menyelamatkan penyakit turunan yakni apabila anak yang terlahir berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, maka ini akan membuat janin dalam kandungan meninggal atau mewarisi penyakit turunan dari orangtua.
Oleh karena itu, penentuan jenis kelamin dalam keadaan darurat seperti ini diperbolehkan.
- Tidak diperbolehkan jika hanya mengikuti keinginan
Sementara itu, apabila pemilihan jenis kelamin anak ditentukan sesuai keinginan saat proses bayi tabung hanya berdasarkan keinginan pasangan tanpa hal yang darurat atau mendasar, maka hal ini tidak diperbolehkan.
Hal ini dikarenakan untuk mempunyai anak sebetulnya masih memungkinkan namun tetap tidak boleh keluar dari cara yang sudah dibenarkan yaitu dengan cara inseminasi alami.
Ditambah lagi dengan inseminasi, ada beberapa pelanggaran yang sudah dilakukan sehingga hanya boleh keluar dari inseminasi alami apabila mengalami keadaan yang darurat saja.
5. Sperma atau air mani dikeluarkan dengan cara yang tidak tepat
Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya haram.
"Mani muhtaram adalah mani yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syari'," papar ulama NU dalam fatwa tersebut.
Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113.
"Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang." tulis fatwa tersebut.
Nah, itulah kelima hukum bayi tabung dalam Islam.
Semoga bermanfaat dan dapat menjadi pertimbangan bagi calon Mama dan Papa di luar sana!
Baca juga:
- Makanan dan Minuman yang Baik Dikonsumsi Saat Program Bayi Tabung
- Tips Memilih Klinik Bayi Tabung Beserta Perbandingan Biayanya
- Ada Kista di Rahim, Ratu Felisha 2 Kali Gagal Program Bayi Tabung