Benarkah Perempuan Korban Kekerasan dan Perkawinan Anak Bisa Stunting?

Ternyata, ada alasan mengapa perempuan korban kekerasan dan perkawinan anak sebabkan stunting

5 Desember 2024

Benarkah Perempuan Korban Kekerasan Perkawinan Anak Bisa Stunting
Freepik/jcomp

Mama mungkin pernah mendengar kata stunting. Istilah ini merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang disebabkan kekurangan gizi kronis dan infeksi secara berulang. Ini bisa ditandai dengan panjang atau tinggi badan anak di bawah standar.

Saat ini, stunting menjadi salah satu masalah kesehatan yang membutuhkan perhatian secara khusus. Tidak hanya pemerintah saja, masyarakat pun memerlukan edukasi yang tepat mengenai stunting.

Perlu Mama ketahui, stunting ternyata bisa disebabkan oleh berbagai hal. Perempuan korban kekerasan dan perkawinan anak pun menjadi beberapa faktor di antaranya yang dapat menyebabkan stunting pada anak.

Penjelasan lebih lengkap mengenai perempuan korban kekerasan dan perkawinan anak sebabkan stunting sudah Popmama.com siapkan informasinya secara detail berikut ini.

Yuk Ma, mari sama-sama kita simak penjelasannya di bawah ini!

Benarkah Perempuan Korban Kekerasan dan Perkawinan Anak Bisa Sebabkan Terjadinya Stunting?

1. Perempuan korban kekerasan ternyata bisa memengaruhi tumbuh kembang bayi

1. Perempuan korban kekerasan ternyata bisa memengaruhi tumbuh kembang bayi
Pexels/Kat Smith

Banyak yang belum tahu, kekerasan terhadap perempuan ternyata juga bisa mengakibatkan masalah pada tumbuh kembang bayi yang gagal atau disebut stunting.

Hubungan ini pun sudah diungkap oleh Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Agustina Erni, pada tahun 2022 lalu.

Dilansir IDN Times, Agustina menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian Jeanne Chai dkk (Bulletin WHO, 2016) yang mencakup sebanyak 42 survei demografis dan kesehatan di 29 negara berpenghasilan rendah dan sedang, ditemukan hubungan antara paparan kekerasan fisik dan seksual yang dialami ibu sepanjang hidupnya dengan stunting.

"Status gizi si ibu pasti akan terganggu apalagi kondisi hamil yang sebenarnya membutuhkan asupan yang baik, ternyata tidak juga mendapatkan," ujarnya dalam media talk bertajuk Mendorong Percepatan Penurunan Stunting melalui Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan, pada 28 Januari 2022 lalu.

Sayangnya, angka kekerasan pada perempuan memang tidak sedikit. Dalam pemaparannya pada tahun 2022 saja, Agustina menjelaskan bahwa dua dari 11 perempuan yang pernah atau sedang menikah selama hidupnya mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangannya.

Kabarnya, angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pun semakin memprihatinkan di masa pandemi lalu.

Editors' Pick

2. Terganggunya gizi pada ibu hamil korban kekerasan bisa dipicu pengalaman traumatik

2. Terganggu gizi ibu hamil korban kekerasan bisa dipicu pengalaman traumatik
Freepik/user15285612

Setelah ditelusuri lebih jauh, terganggunya gizi ibu hamil korban kekerasan ternyata bisa terjadi karena mengingat pengalaman traumatik.

Ingatan terhadap trauma kekerasan itulah yang nantinya dapat membuat ibu hamil mengalami kecemasan, nafsu makan menjadi menurun, kondisi fisik melemah, dan sistem metabolisme terganggu.

Di sisi lain, ibu hamil sebenarnya membutuhkan asupan nutrisi yang cukup selama masa kehamilan untuk mencegah terjadinya stunting.

Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, pun menilai kalau ibu memiliki peran besar dalam memperhatikan kebutuhan gizi yang cukup agar anak tidak stunting.

"Kita melihat yang menyebabkan angka stunting paling tinggi adalah pada masa-masa ibu hamil. Saat ibunya hamil, jangan sampai kekurangan gizi dan kekurangan zat besi, dan pada saat bayinya sudah berusia 6 sampai 24 bulan memberikan makanan pendamping asi. Ibu-ibu inilah yang sangat menentukan apakah gizi anaknya cukup agar tidak stunting," jelas Budi.

Alhasil, bila si ibu hamil korban kekerasan ini tidak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup dan seimbang, bukan tidak mungkin risiko melahirkan bayi stunting ikut meningkat.

3. Perkawinan anak di bawah umur juga bisa menyebabkan stunting

3. Perkawinan anak bawah umur juga bisa menyebabkan stunting
Pexels/Pixabay

Perkawinan anak merupakan praktik melanggar hak anak dan dapat mengancam masa depan. Bahkan, perkawinan ini juga melanggar Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu pasal 7 ayat 1.

Dalam aturan ini, batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan laki-laki, yaitu 19 tahun.

Bagi Mama yang belum tahu, perkawinan anak ternyata juga menjadi salah satu penyebab terjadinya stunting. Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, pun pernah menjelaskan alasannya.

Saat masih menjadi Menteri PPPA, Bintang mengatakan kalau perempuan dan laki-laki usia anak yang melakukan pernikahan sebenarnya belum matang secara psikologis. Pengetahuan dan pemahaman mereka tentang kehamilan dan pola asuh anak juga belum mumpuni.

"Demikian pula secara fisik, organ reproduksinya belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin," ujar Bintang dalam webinar bertajuk Cegah Stunting untuk Generasi Emas Indonesia bersama Megawati Soekarnoputri, Kamis (17/3/2022).

Di sisi lain, pernikahan yang dilakukan oleh pasangan di bawah umur juga belum didukung oleh kemampuan finansial mapan yang dapat menentukan asupan gizi terbaik untuk anak.

Selain karena hal tersebut, ternyata masih ada alasan lain yang menghubungkan antara masalah stunting dengan perkawinan anak.

Perlu diketahui, para remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usianya 21 tahun. Apabila mereka sudah menikah di usia remaja seperti 15 atau 16 tahun, maka tubuh ibu hamil yang melakukan pernikahan dini akan berebut gizi dengan bayi di kandungannya sendiri.

Bila nutrisi ibu hamil tak mencukupi selama kehamilan, alhasil bayi yang akan lahir nanti memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) dan berisiko terkena stunting.

Selain dapat menyebabkan stunting, perkawinan usia anak juga berdampak pada angka perceraian yang meningkat, tingginya angka putus sekolah yang berpengaruh pada buruknya kualitas sumber daya manusia (SDM), bertambahnya angka kemiskinan karena pendidikan terbatas serta meningkatnya angka KDRT yang mana korbannya lebih banyak perempuan dan anak.

4. Perkawinan anak bahkan menjadi faktor utama stunting di Kalimantan Selatan

4. Perkawinan anak bahkan menjadi faktor utama stunting Kalimantan Selatan
Freepik/wirestock

Tak dapat dipungkiri, perkawinan anak memang masih banyak terjadi. Data BPS tahun 2018 saja menunjukkan kalau pada tahun 2018 terdapat 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun sekitar 11 persen.

Pada tahun 2022 silam, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia pun telah mencatat ada sekitar 52.095 perkara dispensasi kawin. Angka ini jelas menjadi penanda bahwa perkawinan anak masih banyak terjadi.

Mirisnya, perkawinan anak bahkan menjadi faktor yang membuat tingginya angka stunting di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Tak hanya sekadar itu saja, provinsi ini bahkan menduduki peringkat keenam tertinggi dalam kasus stunting di Indonesia.

Sebagai informasi, kasus perkawinan anak berusia di bawah umur 19 tahun di Kalsel memang tergolong tinggi, walau sudah mengalami penurunan signifikan pada tahun 2022 lalu.

Selain karena perkawinan anak, angka stunting di wilayah itu juga disebabkan faktor lain seperti kesalahan dalam pola asuh anak hingga sistem sanitasi dan lingkungan yang kurang baik. Itu disampaikan Kepala Kantor Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalsel, Ramlan.

"Di beberapa kabupaten/kota di Kalsel, kawin anak masih tinggi, faktor utama itu ditambah dengan faktor lain," ujar Ramlan, dikutip dari artikel yang tayang tanggal 4 Desember 2023 di situs Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang dikelola Kementerian Sekretariat Negara RI Sekretariat Wakil Presiden.

Kesimpulan

Kesimpulan
Freepik/master1305

Permasalahan tentang stunting memang perlu diperhatikan serius oleh siapa pun. Dalam hal ini, tidak hanya pemerintah saja yang bergerak sendiri untuk mengatasi stunting, tetapi juga membutuhkan kerja sama dari masyarakat.

Melihat faktor korban kekerasan dan perkawinan dini menjadi penyebab stunting, seharusnya masyarakat dengan berani dan sadar mau mengambil peran untuk mencegah terjadinya hal tersebut.

Tindakan pencegahan itu tentu dapat dilakukan jika masyarakat sudah dibekali edukasi yang tepat tentang penyebab stunting. Edukasi itu bisa diberikan oleh pemerintah dan perlu dijelaskan secara rinci agar masyarakat dapat mengerti.

Melalui edukasi yang tepat, keluarga terdekat nantinya dapat mencegah terjadinya kekerasan, serta melakukan pendampingan pada ibu hamil korban kekerasan agar kebutuhan gizi sang ibu dan bayi dalam kandungan tercukupi selama masa kehamilan.

Selain itu, edukasi yang tepat pun dapat menekan angka perkawinan anak, sehingga angka perkawinan anak yang menjadi salah satu faktor penyebab stunting dapat diturunkan.

Dengan begitu, pemerintah dan masyarakat bisa saling bekerja sama dalam menekan angka stunting yang masih menjadi permasalahan serius di Indonesia.

Baca juga:

The Latest